Para
pembawa bendera bid’ah dan kesesatan seakan tak pernah sirna mewarnai
kehidupan ini, mereka tak henti-hentinya berganti cerita di hadapan
ummat yang minim akan pengetahuan agamanya, kaum awam inilah yang
kemudian menjadi sasaran empuk gerombolan para penjahat agama itu bak
ladang subur yang siap untuk dibombardir pemikiran-pemikiran dan faham
yang bukan berasal dari Islam alias tidak jelas asal-usulnya.
Ancaman regenerasi para penjahat agama adalah ancaman yang serius bagi Islam dan muslimin terlebih di era kebodohan ini.
Tidak diragukan bila masa-masa nubuwwah adalah masa kejayaan dan
kesempurnaan dimana kebid’ahan dan kesesatan tak lagi ada di hati
manusia, bahkan para aktivisnya pun terisolasi tiada daya menahan
dahsyatnya gelombang petunjuk yang dibawa oleh Nabi shollallahu ‘alaihi
wa sallam. Allah berfirman (yang artinya), “Sebenarnya Kami melontarkan
yang hak kepada yang batil lalu yang hak itu menghancurkannya, maka
dengan serta merta yang batil itu lenyap.” (QS Al Anbiyaa`: 18).
Semua ini menunjukkan semakin dekatnya satu generasi dari umat ini
kepada masa nubuwwah semakin dekat pula kepada kebenaran, sebaliknya
semakin jauh dari masa nubuwwah semakin jauh pula generasinya dari
kebenaran. Tepatlah bila Imam Malik mengatakan, “Tidak akan menjadi baik
generasi umat yang terakhir ini kecuali dengan apa yang telah
menjadikan baik generasi pertamanya.” (Lihat At Tamhid – Ibnu Abdil
Bar).
BID’AH DARI MASA KE MASA
BID’AH ALIRAN KELOMPOK KHOWARIJ
Bid’ah
yang pertama kali lahir di tengah-tengah umat adalah bid’ah khawarij.
Khawarij adalah bentuk dari kata “khorij” artinya orang yang keluar.
Awal mula munculnya bid’ah ini adalah ketika Nabi shollallahu ‘alaihi
wa sallam sedang membagi-bagikan harta, tiba-tiba datang seorang
laki-laki dari Bani Tamim yang dikenal dengan sebutan
Dzul Khuwaisiroh
dan berkata, “Berbuat adillah wahai Muhammad!” Kejadian ini menjadi
saksi sepanjang sejarah tentang bagaimana pertama keluar dan berpaling
dari syariat Islam, dimana Dzul Khuwaisiroh tidak puas dengan keputusan
Nabi, akhirnya dia keluar dari ketaatan terhadapnya.
Fitnah yang timbul dari bid’ah ini semakin besar, terutama di masa
akhir pemerintahan Utsman rodhiyallahu ‘anhu adanya orang-orang yang
memberontak dan keluar dari ketaatan terhadapnya, bahkan sampai
mengakibatkan beliau terbunuh. Lain lagi ketika Ali rodhiyallahu ‘anhu
diangkat sebagai khalifah setelah Utsman, mereka mengkafirkan Ali dengan
bersenandung yel yel “Tidak ada hukum kecuali hukum Allah”. Kalimat
yang hak, namun yang diinginkan darinya adalah batil, akhirnya
pemerintahan Ali pun memberangus gerakan mereka.
Dari peristiwa-peristiwa ini, maka dikenallah sebutan kelompok
Khawarij pengikut Dzul Khuwaisiroh. Pemikiran Khawarij ini terus
berkembang selaras dengan berlalunya masa dan bergantinya generasi meski
bermetamorfose dalam bentuk dan dalam nama yang lain. Pemikiran
Khawarij sampai saat ini ada walau penggagasnya telah tiada.
Yang menjadi ciri khas mewarnai pemikiran Khawarij sepanjang sejarah
yang kemudian diusung oleh para reformernya dewasa ini adalah:
1. Takfir – mudah mengkafir-kafirkan kaum muslimin, apalagi yang tidak seideologi dengannya –
padahal ini adalah perkara yang berbahaya, pengkafiran adalah hak
prerogatif Allah dan RosulNya, tidak bisa mengatakan si fulan kafir
kecuali bila terpenuhi syarat-syaratnya dan hilangnya hal-hal yang
mencegahnya untuk dikafirkan.
2. Memberontak atau keluar dari ketaatan (secara mutlak) terhadap penguasa muslim yang tidak berhukum dengan hukum Allah, kemudian mengkafirkannya (secara mutlak) dan mengkafirkan orang-orang yang berada di bawah kekuasaan penguasa tersebut.
Pemberontakan yang ditempuhnya melalui dua sektor. Sektor pemikiran
yakni teror pemikiran, menyebarkan fikrah Khawarij dengan cara yang
diplomatis. Sasaran utamanya adalah para pemuda, karena mereka sangat
rentan untuk disulut semangatnya, menumbuhkan kebencian kepada
pemerintah yang sah, semangat revolusi, pendirian daulah Islamiyyah, dan
lain-lain. Yang keduanya lewat sektor fisik, yakni teror fisik, di
antaranya dengan membuat kekacauan dengan gaya-gaya irhabi (terorisme),
merusak instalasi-instalasi milik pemerintah, pengeboman di sejumlah
tempat – tak peduli meski kaum muslimin yang menjadi korban,
memanfaatkan instabilitas pemerintahan, dan seterusnya.
Salah seorang tokoh reformer faham Khawarij adalah Sayyid Qutb,
banyak kalangan aktivis Islam saat ini yang terpengaruh dengan fahamnya,
lewat doktrin-doktrin yang sangat tajam dari sejumlah karya dan
tulisan-tulisannya yang mengarah kepada pengkafiran secara umum (tanpa
memerinci) terhadap semua orang yang tidak berhukum dengan hukum Allah,
ia mengatakan, “Sesungguhnya siapa yang mentaati manusia dalam
undang-undang yang dibuatnya sendiri -biarpun pada sebagian kecilnya-
maka dia telah musyrik! Dan kalaupun pada asalnya muslim, jika dia
melakukannya (taat terhadap undang-undang itu) maka dia telah keluar
dari Islam menuju kesyirikan pula, sekalipun setelah itu ia tetap
mengatakan “Asyhadu allaa ilaaha illallaah” (Fi Zhilalil Qur`an:
3/1198).
Yang benar tentu tidak demikian, telah diketahui secara umum bahwa
siapa yang mentaati seorang musyrik, yakin dan membenarkan segala
ucapannya, maka dia musyrik. Adapun taat dalam hal perbuatan saja sedang
keyakinannya / aqidahnya lurus, maka ini kemaksiatan bukan kesyirikan.
Tidak ragu bahwasanya hukum hanyalah milik Allah saja, inilah yang
menjadi aqidah dan agama kita. Akan tetapi Allah jadikan waliyyul amri /
penguasa bagi kaum muslimin yang akan mengayomi
kemaslahatan-kemaslahatannya, mengharuskan taat kepada mereka dalam hal
yang ma’ruf. Allah berfirman (yang artinya), “Hai orang-orang yang
beriman taatilah Allah dan taatilah (RosulNya) dan ulil amri di antara
kamu.” (QS An Nisaa`: 59).
Pada halaman lainnya ia (Sayyid Qutb) berkata, “Semoga engkau jelas
dari apa yang telah kami sisipkan tadi, bahwa jihad yang utama di dalam
Islam adalah menghancurkan sistem undang-undang yang bertentangan dengan
sumbernya, kemudian menegakkan hukum yang dibangun di atas kaidah Islam
pada tempatnya. Inilah tugas utama mengadakan revolusi Islam secara
umum / serempak.” (Zhilaalul Qur`an: 3/1451).
Ucapannya ini jelas-jelas provokasi yang mengarah kepada
pemberontakan dan penggulingan suatu pemerintahan, tentu bagi orang yang
berakal tidak akan luput apa akibat dari ini semua?! Sejarah Islam
menjadi bukti dan apa yang ada / terlihat di sekitar kita ikut pula
menjadi bukti, bahwa akhir dari sebuah revolusi pemberontakan adalah
fitnah, fitnah yang semakin besar.
Makanya para ulama dari dulu telah mewanti-wanti akan bahayanya
pemberontakan ini, Al Imam Ahmad bin Hanbal berkata, “Tidak dihalalkan
memerangi penguasa tidak pula memberontak padanya karena seruan
seseorang, siapa yang melakukan hal itu, maka ia seorang mubtadi’ (ahli
bid’ah) tidak berjalan di atas sunnah dan petunjuk.” (Syarh Ushul
I’tiqod Ahlussunnah wal Jama’ah 1/181). Al Imam Nawawi berkata, “Adapun
memberontak dan memerangi mereka (penguasa), maka haram dengan
kesepakatan kaum muslimin, meskipun mereka fasiq, zhalim. Telah banyak
hadits-hadits yang semakna dengan apa yang kusebutkan, serta ahlus
sunnah bersepakat tentang tidak bolehnya melepaskan ketaatan kepada
penguasa karena kefasikan.” (Syarh Shohih Muslim: 12/229).
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata, “Hampir setiap orang yang
memberontak kepada pemimpin yang memiliki kekuasaan, melainkan hasil
dari pemberontakannya itu adalah kerusakan yang lebih besar daripada
kebaikannya, seperti pemberontakan yang terjadi pada pemerintahan Yazid
bin Mu’awiyah di Madinah (dimana bala tentaranya Yazid menyikat habis
para pemberontaknya, membunuh kaum laki-lakinya dan merenggut kehormatan
wanita-wanitanya… dan seterusnya), pemberontakan Ibnul Asy’ats pada
pemerintahan Abdul Malik di Irak (dan sejumlah
pemberontakan-pemberontakan lainnya, -pent.) (Lihat Minhajus Sunnah:
4/527-528).
Berkata Syaikh Muhammad bin Sholeh Al Utsaimin, “Sesungguhnya
kejelekan tidak akan mendatangkan kebaikan dan wasilah yang jelek tidak
akan pernah menjadi jalan perbaikan selama-lamanya…” (Dari At Tahdzir
minat Tasarru’ fit Takfir: 48).
Para pembaca, demikian itulah selayang pandang ikhwal Khawarij
kelompok pertama yang menyimpang dari Islam, bahaya gerakannya akan
terus mengancam kaum muslimin, sangat sedikit pemerintahan yang muslim
yang selamat dari pengkafirannya.
BID’AH ALIRAN KELOMPOK QODARIYYAH
Kemudian
di masa-masa akhir generasi para shahabat, muncullah bid’ah yang baru
setelah Khawarij, yakni bid’ah indeterminisme (Qodariyyah) yang dijuluki
dengan Majusi umat ini. Abdullah ibnu Umar, Ubadah bin
Shamit, Jabir bin Abdillah, Abdullah ibnu Abi Aufa dan sejumlah sahabat
lainnya menjumpai mereka.
Orang yang mula-mula berbicara dengan
bid’ah Qodariyyah ini adalah Ma’bad Al Juhaniy.
Diriwayatkan dari Muhammad bin Syu’aib dari Al Auza’i bahwa yang
pertama kali membawa bid’ah Qodariyyah ini adalah seorang laki-laki dari
penduduk Irak yang dipanggil dengan nama “Susan”, ia seorang Nasrani
lalu masuk Islam kemudian kembali jadi Nasrani. Ma’bad Al Juhaniy
mengambil bid’ah ini darinya.
Ia (Ma’bad Al Juhaniy) dan para dedengkotnya mengatakan
perbuatan-perbuatan hamba tidak diketahui oleh Allah, tidak tertulis di
Lauhul Mahfuzh dan Allah tidak mengetahui apa yang akan diperbuat hamba
kecuali bila telah terjadi perbuatan itu. Adapun para
pengikut-pengikutnya yang muncul belakangan ini, menjadi aktor
gerakannya, mereka mengatakan bahwa Allah subhanahu wa ta’ala tidak
mentakdirkan perbuatan-perbuatan hamba dan tidak di bawah kehendakNya,
tidak pula perbuatan hamba diciptakan oleh Allah. (Lihat Al Farqu bainal
Firaq: 19, Syarh Al Aqidah Al Wasithiyyah: 448).
Adapun bedanya antara para penggagasnya, pendahulunya dengan
para reformisnya dewasa ini adalah kalau pendahulunya mereka mengingkari
ilmu Allah dan penulisan taqdir di Lauhul Mahfuzh, sedang para
reformisnya mengakui ilmu Allah dan penulisan taqdir, namun
mengingkari kehendak bagi Allah dan mengingkari kalau perbuatan hamba
itu diciptakan Allah -alias makhluk bagi Allah- demikian itulah kelompok
Qodariyyah dulu dan sekarang, dulu di kandang singa sekarang
terperangkap di kandang serigala.
Abdullah ibnu Umar dan para sahabat lainnya yang menyaksikan dan
mengetahui bid’ahnya Qodariyyah, mereka berlepas diri darinya dan
memperingatkan ummat dari kesesatannya, mewasiatkan agar jangan
menyolati jenazah seorang pun dari mereka, dan jangan menjenguk yang
sakitnya dari kalangan mereka. (Al Farqu bainal Firaq: 18-20).
Sikap tegas para sahabat dalam membendung lajunya gerakan bid’ah
Qodariyyah ini sangat nampak, mereka para pionir dalam membela Al Haq
dan melumatkan kebatilan untuk kemudian menjadi contoh bagi generasi
kita dalam hal ini, mereka tak mengenal basa-basi dalam menegakkan Al
Haq, sepatutnya menjadi teladan generasi kita yang kebanyakan terbawa
perasaan dan suka yang basi-basi.
Nampaknya nilai sikap tegas dari setiap kebatilan itu menjadi ideologi yang baku.
Inilah beliau Ibnu Umar, tatkala beliau mendengar adanya sekelompok
orang yang berpemahaman Qodariyyah, dengan lugasnya ia berkata,
“Sampaikan kepada mereka, bahwa aku berlepas diri dari mereka, dan
mereka pun berlepas diri dariku. Demi Allah, jika salah seorang dari
mereka berinfaq dengan emas sebesar gunung Uhud, niscaya hal itu tidak
bermanfaat bagi mereka hingga beriman dengan taqdir.” (HR Muslim Abu
Daud dan lainnya).
BID’AH ALIRAN KELOMPOK MURJI’AH
Generasi mayoritas para sahabat telah berlalu, namun kebid’ahan masih menyisakan babak yang baru.
Bid’ah
yang muncul di kurun kedua ini adalah bid’ah Al Irja` yang kemudian
para pelakunya lebih dikenal dengan kelompok Murji`ah. Mayoritas kalangan para tabi’in dan sebagian kecil dari kalangan para sahabat yang masih ada menjumpai mereka.
Al Murji`ah adalah isim fa’il (dalam bahasa Arab) dari kata “arja`a”
yang bermakna “akhara” (mengakhirkan). Orang-orang yang dicap
berpemahaman Murji`ah titik tolak pemikirannya adalah melebihkan
perhatiannya terhadap dalil-dalil yang berisikan harapan (roja`) hingga
pada akhirnya seolah-olah menganggap tidak ada dalil-dalil yang memuat
ancaman (wa’iid).
Selain daripada itu, mereka yang dicap sebagai Murji`ah adalah karena
prinsipnya yang aneh dan nyeleneh, dimana mereka mengakhirkan amalan
dari definisi iman, artinya bahwa amalan tidak ada sangkut pautnya
dengan keimanan, iman adalah pengakuan dalam hati saja. Walhasil, para
pelaku dosa besar seperti pezina, pencuri, pemabuk, perampok, menurut
mereka, tidak berhak untuk masuk neraka baik untuk selama-lamanya
ataupun sementara waktu, semua kemaksiatannya besar atau kecil tidak
akan membahayakan iman, selama tidak sampai kepada kekufuran, yang taat
dan maksiat keimanan mereka sama, wal ‘iyadzubillah. (Lihat Al Farqu
bainal Firaq halaman 202, Syarh Aqidah Al Wasithiyyah 365).
Tentu saja pemahaman dan cara berpikir mereka keliru, menyelisihi
nash-nash Kitab dan Sunnah yang sarat dengan penyebutan bahwa iman
meliputi ucapan, keyakinan, dan amalan atau disimpelkan oleh istilah
para ulama iman adalah ucapan dan amalan bertambah dan berkurang, lagi
pula faham mereka tidak pernah diajarkan oleh Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam dan tidak dikenal oleh seluruh para sahabat.
Berkata Al Imam Asy Syafi’i rahimahullah: “Adalah ijma’ (kesepakatan)
dari kalangan para sahabat dan tabi’in setelahnya serta orang-orang
yang telah kami jumpai, semua mengatakan “Iman adalah ucapan, amalan,
dan niat” (Majmu’ul Fatawa: 7/209 dari Taisirul Wushul: 76-77).
Berkata Ibnu Abdil Barr dalam At Tamhid 9/237, “Ahlul fiqh dan hadits
bersepakat bahwa iman adalah ucapan dan amalan, dan tidak ada amalan
kecuali dengan niat, serta iman bertambah dan berkurang.” (Dari Taisirul
Wushul: 77).
Al Imam Al Barbahary berkata, “Siapa yang mengatakan bahwa iman
adalah ucapan dan amalan, bertambah dan berkurang, maka ia telah
terbebas dari faham Irja` (Murji`ah) secara total, awalnya dan
akhirnya.” (Syarhus Sunnah no. 159 halaman 128-129).
Kelompok Murji`ah tak jauh beda dengan ahlul bid’ah lainnya, yang pasti ciri khasnya berpecah belah. Allah berfirman,
Åöäøó ÇáøóÐöíäó ÝóÑøóÞõæÇ Ïöíäóåõãú æóßóÇäõæÇ ÔöíóÚðÇ áóÓúÊó ãöäúåõãú Ýöí ÔóíúÁò
“Sesungguhnya orang-orang yang memecah belah agamanya dan mereka
(terpecah) menjadi beberapa golongan, tidak ada sedikitpun tanggung
jawabmu terhadap mereka.” (QS Al An’aam: 159).
Setidaknya ada dua aliran besar yang mengibarkan faham Murji`ah, satu
di antaranya disebut dengan Murji`ah Qodariyyah yang dikampanyekan oleh
tokoh-tokoh kondangnya seperti Abu Syamr, Muhammad ibnu Syabib,
Ghailan, dan Shalih Qubbah. Kelompok ini adalah kelompok yang paling
kufur di antara aliran yang berhaluan Murji`ah karena menyatukan antara
dua kesesatan yakni Qodar dan Irja`.
Aliran lainnya terpecah menjadi lima, lain ladang lain belalang, lain
pimpinan lain pula pemahaman, di antara lima aliran itu adalah:
1. Kelompok Yunusiyyah, pimpinan Yunus bin ‘Aun yang
menyatakan bahwa iman ada di dalam hati dan lisan, yakni ma’rifat kepada
Allah. Kelompok ini berpendapat bahwa sifat atau ciri-ciri keimanan,
tidaklah dikatakan iman tidak pula dikatakan sebagian daripada iman.
2. Kelompok Ghosaniyyah, pimpinan Ghosan Al Murji` yang
berpendapat bahwa iman adalah ikrar atau kecintaan kepada Allah,
mengagungkanNya serta meninggalkan bersikap sombong terhadapNya.
Menurutnya pula iman akan bertambah dan tidak akan berkurang.
3. At Tumaniyyah, pengikut Abu Mu’adz At Tumani yang
menyatakan bahwa iman itu yang memelihara dari kekufuran, iman adalah
sebuah nama bagi sifat-sifat atau ciri keimanan dimana siapa yang
meninggalkan salah satu ciri darinya, maka telah kafir.
4. Ats Tsaubaniyyah, kelompok ini dipimpin oleh Abu
Tsauban Al Murji`, pemahamannya adalah bahwa iman itu ikrar, ma’rifat
kepada Allah dan RosulNya dan kepada setiap apa yang dituntut oleh akal
untuk mengerjakannya, bila akal tidak menuntut untuk mengerjakan maka
ma’rifat dengannya bukan bagian dari iman.
5. Kelompok Al Mirisiyyah, kelompok yang berhaluan
Murji`ah dari negeri Baghdad pengikut Bisyr bin Ghiyats Al Mirisi, yang
mengatakan bahwa Al Qur`an adalah makhluk. Dia juga mengatakan bahwa
iman adalah pembenaran dengan hati dan lisan. (Lihat Al Farqu bainal
Firaq 202-207).
Para pembaca, wali-wali Allah yang tampil sebagai pembela agamaNya
tidak akan pernah surut dan lenyap, meski gempuran para wali syaithan
datang bertubi-tubi dengan beragam senjata kesesatan dan kebid’ahan.
Allah berfirman,
“Sesungguhnya Kamilah yang menurunkan Al Qur`an dan sesungguhnya Kami
benar-benar memeliharanya.” (QS Al Hijr: 9). Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda,
“Akan tetap ada sekelompok dari umatku mereka nampak di atas kebenaran.” (HR Muslim dari Tsauban).
Para tabi’in dan sebagian sahabat yang masih ada, mereka membantah
habis syubhat-syubhat yang dibawa kaum Murji`ah. Ancaman regenerasi
bid’ah ini sangat serius, terlebih di saat para pengusungnya berganti
busana sehingga tak mudah untuk dikenali, tetapi perubahan busana
ataupun nama tidak akan merubah hakikatnya.
BID’AH ALIRAN KELOMPOK MU’TAZILAH
Bid’ah-
bid’ah yang telah lewat penyebutannya ternyata berbuntut, hingga setelah bid’ah Murji`ah,
lahirlah bid’ah I’tizal. Bermula dari sebuah majlis ilmu yang dipimpin
oleh Imam Al Hasan bin Yasar Al Bashri, didapati adanya dua orang yang
membawa pemahaman menyimpang. Kedua orang itu adalah Washil bin ‘Atha`
Al Bashri yang memproklamirkan faham baru, bahwa adanya satu
kedudukan di antara dua kedudukan (al manzilah baina manzilatain),
menurutnya orang yang fasiq menempati kedudukan tersendiri, bukan mu`min
bukan pula seorang yang kafir.
Adapun keduanya adalah Amr bin Ubaid Al Bashri, ia berhaluan faham
Qodariyyah, masing-masing menyimpang dari nash dan menuju akal.
Mereka berdua kemudian diusir dari majlisnya Hasan Al Bashri, akhirnya
merekapun memisahkan diri bersama kebid’ahannya dari jalan Al Haq.
Washil bin Atha` lalu menjadi pimpinan utama bid’ah I’tizal ini, dari
peristiwa-peristiwa inilah maka lahir sebutan Mu’tazilah bagi gerakan
Washil bin Atha` dan para pengikutnya. (Al Farqu bainal Firaq 20-21,
lihat juga halaman 118-120).
Bid’ah ini terus merangsek dan berkembang di kalangan para adzkiyaa`,
cendekiawan, dan ilmuwan, sampai akhirnya muncul sekumpulan kaum yang
pinter namun keblinger, mereka mengelukan bahwa akal mempunyai peran
yang independen di samping wahyu bahkan akal dinomorwahidkan di atas
segalanya. Bila dibahasakan keadaan mereka di saat sekarang, mereka itu
adalah kaum rasionalis sebuah pergeseran nama dari yang dulunya, yakni
Mu’tazilah.
Kaum itu menyatakan pelaku dosa besar, ia bukan seorang mu`min
-persis seperti ucapan Khawarij- namun bukan pula kafir, -mirip dengan
ucapan Murji`ah- akan tetapi ia berada di manzilah baina manzilatain (di
satu kedudukan di antara dua kedudukan), ibarat seorang yang mengadakan
satu perjalanan dari kotanya menuju kota lainnya, maka ia berada di
tengah jalan yang bukan di kotanya bukan juga di kota yang ia tuju
tetapi ia berada
di manzilah baina manzilatain.
Pada tahun 1869, pemikiran Mu’tazilah semakin mendapatkan tempat di
benak para pemuda yang hanya bermodalkan semangat, kala itu bendera
Mu’tazilah kembali diangkat oleh seorang reformernya Jamaluddin Al
Ironiy Al Afghoni. Kedatangannya ke Mesir benar-benar merusak aqidah
para pemudanya, terlebih mahasiswa-mahasiswa Al Azhar di Kairo.
Muhammad Abduh bin Hasan At Turkumaniy, ia lahir di Mesir pada tahun
1849 yang juga salah seorang siswa Al-Azhar. Kegemarannya membaca
buku-buku filsafat dan mendalami jalan pikiran kaum rasionalis
(Mu’tazilah) membuatnya sangat klop dan cocok dengan Al Afghoni. Dia
begitu tertarik dengan pemikiran-pemikirannya. Kemudian setelah
menamatkan kuliahnya di Al Azhar tahun 1877 dengan hasil yang “agak”
lumayan, dia dan Jamaluddin Al Afghoni yang telah menjadi gurunya serta
tokoh-tokoh lainnya seperti Muhammad Rasyid Ridho, Muhammad Musthofa Al
Maroghi, Muhammad Farid Al Wajdi, Mahmud Syaltut, dan Abdul Aziz Jawisy
serta Ahmad Musthofa Al Maroghi, menjadi corong utama gerakan kaum
rasionalis yang kemudian tulisan-tulisannya banyak diadopsi kaum
muslimin dewasa ini. Wallahul Musta’an. (Lihat Rududu Ahlil Ilmi: 9-10).
Yang melekat sepanjang sejarah mewarnai gerakan sesat Mu’tazilah ini
hingga kemudian nampak di masa sekarang adalah pengagungannya terhadap
akal mengalahkan kedudukan naql, tak heran bila kemudian para ahli
filsafat, ahli kalam, dan ahli mantiq banyak bercokol dalam gerakan ini,
di antara pernyataan-pernyataannya:
1. Akal adalah dalil yang paling pokok dan pondasinya.
2. Akal mesti didahulukan di atas syariat (naql).
3. Dalil-dalil akal bersifat yakiniyyah, pasti, melalui proses
pengkajian yang dalam sehingga melahirkan pesan-pesan yang argumentatif,
sedangkan nash-nash syar’i hanyalah bersifat sangkaan dan doktrinisasi
belaka.
4. Pahala dan siksa tergantung pada hukum akal.
5. Penilaian terhadap suatu perbuatan, baik atau buruk kembali pada akal.
(Lihat Al Madkhal lid Dirosatil Aqidah Al Islamiyyah: 43).
Itulah sebagian langkah-langkah mereka dalam mengagungkan akal,
ditambah lagi dengan adanya pemilahan terhadap hadits-hadits Nabi yang
shohih, antara yang ahad dan mutawatir guna menolak sebagian hadits Nabi
terutama yang berkaitan dengan aqidah, hanya yang dianggap mutawatir
yang diterima.
Namun, pada kenyataannya tak jarang terjadi kekeliruan, dimana yang
mutawatir dianggap ahad atau sebaliknya yang ahad dikatakan mutawatir,
akhirnya kebingungan sendiri, sebab pada dasarnya acuan utama mereka
adalah akal, sehingga yang bertolak belakang dengan ketentuan akal meski
mutawatir, ujung-ujungnya dinyatakan ahad.
Sebagai contoh konkritnya, dalam tafsir Al Manar 3/316, penulisnya
mengatakan, “Tentang hadits diangkat dan turunnya Isa di akhir zaman,
adalah hadits ahad yang berkaitan dengan perkara i’tiqod karena bagian
dari perkara-perkara gaib, sementara perkara i’tiqod tidak boleh diambil
kecuali dengan dalil yang qoth’i (pasti) sebab yang dituntut di
dalamnya adalah keyakinan, namun tidak ada dalam bab ini hadits yang
mutawatir.” Tentu saja ini kekeliruan yang fatal dimana hadits-hadits
tentang turunnya Isa bagi para ahlul ilmi, ahlul hadits adalah
mutawatir. (Lihat Rududu Ahlil Ilmi: 22-25).
BID’AH ALIRAN KELOMPOK JAHMIYYAH
Para pembaca, tak lama kemudian angin berhembus begitu kencang dari
arah Turmudz, tepatnya di negeri Khurosan, membawa bid’ah baru di
sela-sela guncangan bid’ah Mu’tazilah.
Jahmiyyah, itulah bid’ah
berikutnya yang mengoyak keutuhan ajaran Islam yang telah dijalani dan
diperagakan manusia-manusia terbaik dari umat ini, para sahabat,
tabi’in, dan tabi’ut tabi’in.
Berkat kiprah dan ulah sang jagoan debat dan ahli kalam Al Jahm bin
Shafwan bid’ah ini tersebar, bahkan ia tercatat sebagai tokoh utamanya.
Faham yang mencolok dari gerakan bid’ah ini di antaranya, bahwa Allah
tidak berbicara kepada Musa, Al Qur`an adalah makhluk, Allah tidak dapat
berbicara tidak pula dapat dilihat, dan Allah AWJ tidak beristiwa di
atas arsyNya.
Faham ini terus diumbar ke berbagai tempat oleh Jahm bin Shafwan, ia
mengadopsi ideologi sampah ini pertama kalinya dari gurunya Al Ja’ad bin
Dirham. Dikatakan oleh para ahlil ilmi bahwa Ja’ad bin Dirham
mengambilnya dari Abaan bin Sam’an, kemudian Abaan mengambilnya dari
Tholuut anak Sauda perempuan Labid bin Al A’shom dan Tholuut
mengambilnya dari Labid bin Al A’shom sang penyihir, yang telah menyihir
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. (Lihat Mauqif Ahlis Sunnah min
Ahlil Ahwa wal Bida’: 153-154, Al Farqu bainal Firoq: 211, tahqiq
Muhammad Muhyidin Abdul Hamid).
Agaknya gambaran radikalisme begitu melekat pada gerakan bid’ah ini,
pimpinannya Jahm bin Shafwan pun dicap sebagai gembong pelaku kejahatan
dan kerusakan, ia menyatukan tiga kebid’ahan di antara bid’ah-bid’ah
lainnya.
Pertama: Ta’thil, meniadakan sifat-sifat bagi Allah, dan baginya
Allah tidak boleh disifati dengan sifat apapun, karena menurutnya akan
terjadi kesamaan dengan makhlukNya.
Kedua: Al Jabr, menurutnya manusia tidak mempunyai kekuasaan atas
sesuatu apapun, tidak disifati dengan sifat kemampuan, akan tetapi
manusia dipaksa dalam perbuatan-perbuatannya, tidak diberikan kemampuan,
keinginan, dan ikhtiyar / pilihan.
Ketiga: Al Irja`, menurutnya iman adalah ma’rifat, tidak akan
berkurang dan tidak bertingkat-tingkat. (Al Milal wan Nihal: 1/86-88, Al
Farqu bainal Firaq: 211).
Para salaf mengkategorikan pernyataan Jahm ini sebagai
pernyataan-pernyataan kufur, sampai-sampai Salim bin Abi Mu’thi berkata,
“Al Jahmiyyah kuffar, tidak boleh sholat di belakang mereka.” Sufyan
Ats Tsauri berkata, “Siapa yang mengira bahwa firman Allah AWJ kepada
Musa, yang artinya: “(Allah berfirman) Hai Musa, sesungguhnya Akulah
Allah yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (QS An Naml: 9) adalah
makhluk, maka dia kafir, zindiq, halal darahnya.” Demikian juga dengan
Al Imam Ahmad bin Hanbal, beliau berkata, “Siapa yang mengatakan Al
Qur`an adalah makhluk, maka bagi kami dia kafir, karena Al Qur`an adalah
ilmunya Allah AWJ dan di dalamnya terdapat nama-nama Allah AWJ.”
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah beliau menghikayatkan pengkafiran
mayoritas ahlul ilmi terhadap mereka, katanya, “Yang masyhur dari
madzhab Ahmad dan mayoritas para aimmah sunnah pengkafiran terhadap
Jahmiyyah, mereka orang-orang yang meniadakan sifat-sifat Rahman,
sesungguhnya ucapan mereka jelas-jelas bertentangan dengan apa yang
telah dibawa oleh para rosul dari Al Kitab.” Ibnul Qoyyim juga menukil
pengkafiran terhadap mereka dari lima ratus ulama salaf, dalam
Nuniyah-nya: 1/115. (Mauqif Ahlis Sunnah wal Jama’ah: 155-156).
Para pembaca, Al Jahm bin Shafwan, di samping kesesatan-kesesatannya
yang telah kita sebutkan, ia juga seorang tokoh pemberontak. Ketika
Hisyam bin Abdul Malik mengangkat Nasher bin Sayaar sebagai pemimpin di
Khurosan, maka dia (Al Jahm) bersama Suraij bin Harits (atau Harits bin
Suraij) memberontak pemerintahannya, kemudian Nasher bin Sayaar
memerintahkan Salim bin Ahwaz sebagai panglima perangnya berikut
beberapa pasukan untuk menghadangnya. Akhirnya Salim bin Ahwaz berhasil
membunuhnya di akhir masa Bani Marwan. (Al Farqu bainal Firaq: 36 dan
212).
ADAKAH JAHMIYYAH DI MASA SEKARANG?
Al Allamah Jamaluddin Al Qosimi, mengatakan, “Terkadang telah dikira
bahwa Jahmiyyah telah lenyap ditelan masa, padahal Mu’tazilah adalah
cabang dari (bid’ahnya) Jahmiyyah, dan Mu’tazilah sangatlah banyak
(sekarang ini), lagi pula orang-orang yang menisbatkan kepada faham
asy’ariyah pun dalam banyak permasalahan merujuk kepada madzhab
Jahmiyyah.” (Tarikh Jahmiyyah wal Mu’tazilah: 6, dari Mauqif
Ahlissunnah: 156).
Memang benar apa yang dikatakan beliau Al Allamah Jamaluddin Al
Qosimi kalau Mu’tazilah cabang dari Jahmiyyah, karena Jahmiyyah di dalam
meniadakan sifat-sifat Allah bertolak dari akal. (Syarh Al Aqidah Al
Wasithiyyah: 21). Ini semua menunjukkan bahwa model-model pemikiran
Jahmiyyah masih tetap ada hingga hari ini di zaman kita ini.
Demikian itulah bid’ah demi bid’ah muncul bertahap dari yang parah
hingga yang terparah bermuara pada pembicaraan tentang dzat Allah. Wal
‘iyadzubillah. Maka, sudah sepatutnya bagi kita untuk selalu memohon
ketetapan dan kekokohan di atas al haq kepada Allah ta’ala dan agar
tidak memalingkan hati-hati kita setelah mendapat petunjuk, karena ini
adalah perkara yang berbahaya, sementara syaithon masuk kepada Bani Adam
dari segala arah, membuat keragu-raguan dalam aqidahnya, dienNya dan
terhadap kitabNya (Al Qur`an) serta sunnah rosulNya. Inilah pada
hakekatnya kebid’ahan yang merebak di tengah-tengah umat Islam.
Para pelaku bid’ah itu tidak melakukan suatu kebid’ahan kecuali
karena sedikit ilmunya, atau dangkal pemahamannya atau juga karena
didorong dengan tujuan-tujuan yang jelek, dengan bid’ahnya itu mereka
merusak dunia.
Akan tetapi -segala puji bagi Allah- tak ada seorang pun yang membuat
suatu kebid’ahan, melainkan telah Allah siapkan dengan hikmahNya dan
karuniaNya orang-orang yang menerangkan kebid’ahan itu, membongkar kedok
para pelakunya, dan menghancurkannya dengan al haq. Allah berfirman,
“Sebenarnya Kami melontarkan yang haq kepada yang batil, lalu yang haq
itu menghancurkannya, maka dengan serta merta yang batil itu lenyap. Dan
kecelakaanlah bagimu disebabkan kamu mensifati (Allah dengan
sifat-sifat yang tidak layak bagiNya).” (QS Al Anbiyaa: 18).
Ini merupakan kesempurnaan firman Allah, “Sesungguhnya Kami-lah yang
menurunkan Al Qur`an, dan sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya.”
(QS Al Hijr: 9). Innahu Waliyyu dzalika wal Qodir ‘alaih. Wal ‘ilmu
‘indallah.
Ditulis oleh Abu Hamzah Al Atsary.
(Sumber : Bulletin Al Wala’ wal Bara’ Edisi 33 & 34 Tahun ke 2. URL http://salafy.iwebland.com/fdawj/awwb/read.php?edisi=33&th=2 dan http://salafy.iwebland.com/fdawj/awwb/read.php?edisi=34&th=2.)