Senin, 29 Oktober 2012

Masalah Bid'ah

Rasulullah telah bersabda :

“Artinya : Janganlah kamu sekalian mengada-adakan urusan-urusan yang baru, karena sesungguhnya mengadakan hal yang baru adalah bid’ah, dan setiap bid’ah adalah sesat”. [Hadits Riwayat Abdu Daud, dan At-Tirmidzi ; hadits hasan shahih].

Dan sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
“Artinya : Barangsiapa mengadakan hal yang baru yang bukan dari kami maka perbuatannya tertolak”.

Dan dalam riwayat lain disebutkan :
“Artinya : Barangsiapa beramal suatu amalan yang tidak didasari oleh urusan kami maka amalannya tertolak”.


Berangkat dari ketiga hadist tersebut maka kali ini Kang Hasan akan mengangkat tema tentang bid'ah yang sangat diperselisihkan antara NU dan salafy.
 
Salafy berpendapat mengengai masalah bid'ah sebagai berikut :

Yang dimaksud dengan bid'ah dalam hadist diatas (bid'ah secara istilah syariah) adalah :
"Setiap hal yang diada-ada dalam agama Allah yang sama sekali tidak mempunyai landasan dalil, baik dalil yang umum ataupun yang khusus."

Atau dengan ungkapan yang lebih ringkas:

"Setiap hal yang diada-ada dalam agama Allah tanpa landasan dalil."
Hukum melakukan bid'ah adalah haram dan tercela.

Salafy membatasi dalam masalah bid'ah ini hanya dalam masalah diniah atau syariah Agama Islam saja. Adapun bid'ah dalam bidang non Agama seperti hal-hal baru yang dibuat / penemuan / inovasi diluar permasalahan agama tidak dimasukkan dalam bidang bid'ah yang dilarang karena ada sabda nabi "fii amrina hadza" (perkara agama). Contoh bid'ah yang bukan perkara agama ini adalah : sepeda motor dan mobil, dulu pada zaman nabi tidak ada kemudian ditermukan teknologinya dan dibuat orang jadi ada, tapi ini bukan perkara agama, sehingga hukumnya boleh dan tidak terlarang. Penjelasan lebih lanjut klik disini dan disini

Contoh bid'ah yang terlarang menurut salafy adalah peringatan/selamatan kematian seseorang pada hari ke 1, 7, 40, 100, setahun, dua tahun, dan 1000 hari. Penentuan hari-hari selamatan seperti ini banyak dilakukan oleh masyarakat Islam Indonesia, tidak ada dalilnya sama sekali sehingga termasuk dalam bid'ah yang sesat dan terlarang.



Al Imam Asy Syatibi dalam Al I’tishom. Beliau mengatakan bahwa bid’ah adalah:
عِبَارَةٌ عَنْ طَرِيْقَةٍ فِي الدِّيْنِ مُخْتَرَعَةٍ تُضَاهِي الشَّرْعِيَّةَ يُقْصَدُ بِالسُّلُوْكِ عَلَيْهَا المُبَالَغَةُ فِي التَّعَبُدِ للهِ سُبْحَانَهُ
Suatu istilah untuk suatu jalan dalam agama yang dibuat-buat (tanpa ada dalil, pen) yang menyerupai syari’at (ajaran Islam), yang dimaksudkan ketika menempuhnya adalah untuk berlebih-lebihan dalam beribadah kepada Allah Ta’ala.

bid’ah secara istilah adalah suatu hal yang baru dalam masalah agama setelah agama tersebut sempurna.
bid’ah secara istilah adalah suatu hal yang baru dalam masalah agama setelah agama tersebut sempurna.
bid’ah secara istilah adalah suatu hal yang baru dalam masalah agama setelah agama tersebut sempurna.

NU : Jangan Jadikan Bid'ah Alasan Perpecahan Umat



Ustdz. Aris Habibuddin Syah, S.Hi
Ruteng-Flores-NTT
الحمد لله الحمد لله نحمده و نستعينه و نستغفره و نتوب إليه, و نعوذ بالله من شرور أنفسنا و من سيئات أعمالنا, من يهده الله فلا مضل له و من يضلل فلا هادي له, و أشهد أن لا إله الا الله وحده لا شريك له و أشهد أن محمد عبده و رسوله لا نبي بعده, اللهم صلي و سلم و بارك علي سيدنا و نبينا محمد سيد المرسلين و إمام المتقين و خاتم النبيين و علي أله الطاهرين و أصحابه الطيبين الطاهرين و من تبعهم بإحسان إلى يوم الدين, أما بعد
 فيا عباد الله أصيكم و اياي بتقوالله و قد فاز المتقون, اتقوا الله حق تقاته و لا تموتن الا و أنتم مسلمون. قال الله تعالي في القرأن الكريم..أعوذ بالله من الشيطان الرجيم. بسم الله الر حمن الرحيم. يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ أَطِيعُواْ اللّهَ وَأَطِيعُواْ الرَّسُولَ وَأُوْلِي الأَمْرِ مِنكُمْ فَإِن تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللّهِ وَالرَّسُولِ إِن كُنتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ ذَلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلاً.

Ma’asyirol muslimin jamaah jumah rahimakumullah…
Puji syukur ke hadirat Allah SWT yang telah memberi kita nikmat Iman dan Islam sehingga berkat hidayah ‘inayah serta taufiq Nya hingga saat ini kita selalu dapat menjalankan syariat-syariat yang telah digariskan olehNya salah satunya dengan menjalankan ibadah wajib berupa sholat jum’at yang sedang kita laksanakan saat ini.
Sholawat ma’as salam sudah seharusnya tak henti-hentinya kita haturkan ke haribaan junjungan kita, Pamungkas para Nabi dan Rasul sekaligus pemberi syafaat kepada ummatnya di hari kiamat nanti, Rasulullah Muhammad SAW. Semoga kita termasuk di dalam golongan orang-orang yang akan mendapat syafaat beliau. Amin yaa robbal alamin.
Selanjutnya untuk mengawali khutbah singkat izinkan khotib berwasiat kepada diri khotib khususnya dan kepada hadirin jamaah sholat jum’ah umumnya untuk selalu bertaqwa dan meningkatkan ketaqwaan kita kepada Allah SWT dengan sebenar-benar taqwa, dengan melaksanakan segala perintah Allah dengan ikhlas sekaligus menjauhi segala yang tidak disukai oleh Allah serta meninggalkan segala seusuatu yang dilarang oleh Allah SWT, seraya berharap kita dapat mengakhiri hidup yang hanya sementara ini dengan husnul khotimah.
Ma’asyirol muslimin jamaah jumah rahimakumullah…
Akhir-akhir ini kaum muslimin dihadapkan dengan sebuah ujian berat berupa ancaman perpecahan mengatasnamakan perbedaan aliran, syariat, bahkan perbedaan aqidah. Sadar atau tidak sadar, hal ini sudah seharusnya kita hindari, karena jika kita terlena terhadap perbedaan-perbedaan tersebut maka umat muslim sendiri lah yang akan menanggung segala akibatnya, dan akan semakin membuat musuh-musuh Islam tertawa dan berpesta serta semakin memojokkan posisi kaum muslimin.
Perbedaan-perbedaan tersebut semakin hari kian meruncingkan masalah dengan saling mempersalahkan satu dengan yang lainnya. Sebagai contoh ada suatu golongan yang mencibir amaliah golongan lain dengan menganggap apa yang tidak sesuai dengan yang mereka kerjakan serta mereka yakini adalah sebuah perbuatan bid’ah yang ganjarannya adalah neraka. Lebih parahnya lagi mereka yang mencibir tidaklah sepenuhnya memahami apa yang mereka pedomani. Mereka bahkan tidak mau menerima argument dari golongan lain serta menganggap paham mereka lah yang paling benar. Oleh karenanya dalam kesempatan yang singkat ini khotib akan sedikit mengulas tentang fasal bid’ah berserta dasar-dasar hokum yang berkaitan dengan bid’ah, khotib berharap dengan pemaparan ini kita semua dapat membuka hati kita untuk lebih dapat menerima pandangan orang lain, membuka cakrawala pemikiran kita bahwa ada pendapat mengenai bid’ah dengan versi lain dari apa yang pernah kita ketahui dan kita yakini, sehingga kedepan kita tidak terjebak dalam perdebatan-perdebatan tidak berujung.
Ma’asyirol muslimin rahimakumullah…
Dalam kamus Al Munawir kata بِدْعَةٌ yang merupakan jama’ dari kata  بِدَعٌsecara lughowi diartikan sebagai “perkara baru dalam agama”. Sedangkan secara istilahi terdapat bermacam-macam makna diantaranya seperti yang termaktub dalam kitab Risalah Ahlussunnah wal Jama’ah karya Hadratusy Syeikh Hasyim Asy’ari. Dalam kitab tersebut istilah "bid’ah" ini disandingkan dengan istilah "sunnah". Seperti dikutip Syeikh Hasyim Asy’ari, menurut Syaikh Zaruq dalam kitab ‘Uddatul Murid, kata bid’ah secara syara’ adalah munculnya perkara baru dalam agama yang kemudian mirip dengan bagian ajaran agama itu, padahal bukan bagian darinya, baik formal maupun hakekatnya. Dalam sebuah hadits Rasulullah SAW yang terdapat dalam kitab Riyadlus Sholihin Hal. 62 disebutkan :
عَنْ أُمِّ اْلمُؤْمِنِيْنَ أُمِّ عَبْدِ اللهِ عَائِشَةَ رَضِيَ الله عَنْهَا قَالَتْ : قَالَ رَسُوْلُ الله صَلَّى الله عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ : مَنْ أَحْدَثَ فىِ أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ. (متفق عليه)
Artinya : ”Barangsiapa memunculkan perkara baru dalam urusan kami (agama) yang tidak merupakan bagian dari agama itu, maka perkara tersebut tertolak”.
Nabi juga bersabda yang termaktub dalam kitab Riyadlus Solihin hal. 62:
أَمَّا بَعْدُ فَإِنَّ خَيْرَ الْحَدِيْثِ كِتَابُ الله, وَ خَيْرَ الْهَدْىِ هَدْىُ مُحَمَّدٍ صَلَّى الله عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ, وَ شَرَّ اْلأُمُوْرِ مُحْدَثَاتُهَا, وَ كُلَّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ. رواه مسلم
Yang artinya : ”Amma ba’du, maka sesungguhnya perkataan yang paling baik adalah kitab Allah, sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad, dan seburuk-buruk perkara adalah hal yang baru dan setiap bid’ah adalah sesat”.
Menurut para ulama’, kedua hadits ini tidak berarti bahwa semua perkara yang baru dalam urusan agama tergolong bidah, karena mungkin saja ada perkara baru dalam urusan agama, namun masih sesuai dengan ruh syari’ah atau salah satu cabangnya (furu’). Al Imam Al Hafiz Al-Qurthubi dalam kitab tafsirnya menyatakan bahwa perbuatan bid’ah yang dimaksud dalam hadist tersebut adalah hal-hal yg tidak sejalan dengan Alqur’an dan Sunnah Rasul saw, atau perbuatan Sahabat radhiyallahu ‘anhum.
Bid’ah dalam arti lainnya adalah sesuatu yang baru yang tidak ada sebelumnya, sebagaimana firman Allah SWT:
بَدِيعُ السَّمَاوَاتِ وَالأَرْضِ ...الأية
Yang artinya : “Allah yang menciptakan langit dan bumi”. (Al-Baqarah 2: 117).
Ma’asyirol muslimin rahimakumullah…
Terdapat sebuah hadist Nabi juga yang berbunyi  كُلُّ بِدْعَةٍ ضَلاَ لَةٌ وَكُلُّ ضَلاَ لَةٍ فِى النَّارِ yang artinya : “Semua bid’ah itu adalah sesat dan semua kesesatan itu di neraka”.
Jika kita memahami redaksi hadist ini secara lafdziah maka sudah pasti dapat diambil kesimpulan bahwa segala sesuatu yang baru dalam agama (dalam hal ini segala sesuatu yang tidak pernah ada pada zaman nabi) adalah bid’ah, dan setiap bid’ah sudah pasti sesat dan setiap kesesatan tempatnya di neraka.
Namun demikian, mari coba kita kaji dari sudut pandang ilmu balaghogh. KH. A.N. Nuril Huda, dalam "Ahlussunnah wal Jama'ah (Aswaja) Menjawab" menjelaskan kajian terhadap hadist tersebut Menurut ilmu balaghogh. Dalam kajian ilmu balaghogh disebutkan bahwa setiap benda pasti mempunyai sifat, tidak mungkin ada benda yang tidak bersifat, sifat itu bisa bertentangan seperti baik dan buruk, panjang dan pendek, gemuk dan kurus. Mustahil ada benda dalam satu waktu dan satu tempat mempunyai dua sifat yang bertentangan, kalau dikatakan benda itu baik, mustahil pada waktu dan tempat yang sama dikatakan jelek; kalau dikatakan si A berdiri mustahil pada waktu dan tempat yang sama dikatakan duduk. Bid’ah itu merupakan kata benda, yang sudah barang tentu mempunyai sifat, tidak mungkin ia tidak mempunyai sifat, mungkin saja ia bersifat baik atau mungkin bersifat jelek. Sifat tersebut tidak ditulis dan tidak disebutkan dalam hadits di atas. Hal seperti ini dalam Ilmu Balaghah dikatakan; حدف الصفة على الموصوف yaitu “membuang sifat dari benda yang bersifat”. Seandainya kita tulis sifat bid’ah maka akan terjadi dua kemungkinan: Kemungkinan pertama; كُلُّ بِدْعَةٍ حَسَنَةٍ ضَلاَ لَةٌ وَكُلُّ ضَلاَ لَةٍ فِى النَّارِ Yang artinya : “Semua bid’ah yang baik sesat, dan semua yang sesat masuk neraka”. Hal ini tidak mungkin, bagaimana bisa sifat baik dan sesat berkumpul dalam satu benda dan dalam waktu dan tempat yang sama, hal itu tentu mustahil. Maka yang bisa dipastikan kemungkinan yang kedua; كُلُّ بِدْعَةٍ سَيِئَةٍ ضَلاَ لَةٌ وَكُلُّ ضَلاَ لَةٍ فِى النَّاِر Yang artinya : “Semua bid’ah yang jelek itu sesat, dan semua kesesatan itu masuk neraka”.
Hal yang sama dengan kajian ilmu balaghogh diatas terjadi pula dalam Al-Qur’an, Allah SWT telah membuang sifat kapal dalam firman-Nya pada QS Al-Kahfi : 79 yang berbunyi :
وَكَانَ وَرَاءهُم مَّلِكٌ يَأْخُذُ كُلَّ سَفِينَةٍ غَصْباً ﴿٧٩﴾
artinya: “Di belakang mereka ada raja yang akan merampas semua kapal dengan paksa”.
Dalam ayat tersebut Allah SWT tidak menyebutkan kapal baik apakah kapal jelek; karena dalam kondisi normal kapal yang jelek tidak akan diambil oleh raja. Maka lafadh كل سفينة sama dengan كل بد عة tidak disebutkan sifatnya, walaupun pasti punya sifat, ialah kapal yang baik كل سفينة حسنة.
Kemudian kajian lain terhadap hadist tersebut adalah pendapat dari Al-Imam Al-Hafidz Al-Nawawi yang menyatakan dalam kitab Syarh-nya atas kitab Shohih Muslim, bahwa kata كل adalah bermakna sebagian besar bukan bermakna seluruh, sehingga hadist itu oleh beliau dimaknakan “sebagian besar perbuatan bid’ah itu adalah sesat”. Pemaknaan lafadz كل dengan makna sebagian juga terdapat dalam kajian ilmu lughotil arobiyah.
Ma’asyirol muslimin rahimakumullah…
Bertolak dari paparan terkait dengan pengertian bid’ah sebagaimana telah khotib uraikan diatas, Timbul suatu pertanyaan, Apakah segala sesuatu yang diada-adakan oleh ulama’ yang tidak ada pada zaman Nabi SAW pasti jeleknya? Jawaban yang bijaksana adalah, belum tentu! Ada dua kemungkinan; mungkin jelek dan mungkin baik. Kapan bid’ah itu baik dan kapan bid’ah itu jelek?. Khotib akan mengutip 2 pendapat ulama’ besar yang mewakili 2 zaman berbeda yaitu Imam Syafi’i dari kalangan ulama salaf dan Prof. Dr. As Sayyid Muhammad bin Alwi Al Maliki Al Hasani dari kalangan ulama kholaf. Menurut Imam Syafi’i:

اَلْبِدْعَةُ ِبدْعَتَانِ : مَحْمُوْدَةٌ وَمَذْمُوْمَةٌ, فَمَاوَافَقَ السُّنَّةَ مَحْمُوْدَةٌ وَمَاخَالَفَهَا فَهُوَ مَذْمُوْمَةٌ
Yang artinya : “Bid’ah ada dua, bid’ah terpuji dan bid’ah tercela, bid’ah yang sesuai dengan sunnah itulah yang terpuji dan bid’ah yang bertentangan dengan sunnah itulah yang tercela”.
Sedangkan menurut sebuah kutipan yang dinukil dari sebuah kitab yang berjudul : Dzikrayaat wa Munaasabaat karya Prof. Dr. As Sayyid Muhammad bin Alwi Al Maliki Al Hasani yang dialih bahasakan oleh KH. Muhammad Bashori Alwi dalam sebuah bukunya disebutkan : bukan semua yang tidak diamalkan oleh ulama’ salaf dan belum terjadi pada masa pertama (zaman nabi) itu adalah bid’ah yang diingkari lagi jelek, yang diharamkan orang melakukannya dan wajib diingkarinya. Tetapi hal-hal baru yang terjadi itu haruslah dihadapkan kepada dalil-dalil syar’i. Lantas apa yang mengandung maslahat hukumnya adalah wajib. Atau yang mengandung keharaman maka hukumnya haram. Atau yang mengandung kemakruhan maka hukumnya makruh. Atau yang mengandung kemubahan maka hukumnya mubah. Atau yang mengadung mandub (sunnah) maka hukumnya adalah mandub (sunnah).
Hal
ini juga diperkuat oleh hadist Nabi yang termaktub dalam kitab Riyadlus Sholihin Halaman 63 yang berbunyi :
مَنْ سَنَّ فِى اْلاِسْلاَمِ سُنَّةً حَسَنَةً فَلَهُ أَجْرُهَا وَأَجْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا بَعْدَهُ مِنْ غَيْرِ اَنْ يَنْقُصَ مِنْ أُجُوْرِهِمْ شَيْئٌ, وَمَنْ سَنَّ فِى اْلاِسْلاَمِ سُنَّةً سَيِئَةً فَعَلَيْهِ وِزْرُهَا وَ وِزْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا مِنْ بَعْدِهِ مِنْ غَيْرِاَنْ يَنْقُصَ مِنْ أَوْزَارِهِمْ شَيْئٌ. رواه مسلم
Yang artinya : “Barang siapa yang mengada-adakan satu cara yang baik dalam Islam maka ia akan mendapatkan pahala orang yang turut mengerjakannya dengan tidak mengurangi dari pahala mereka sedikit pun, dan barang siapa yang mengada-adakan suatu cara yang jelek maka ia akan mendapat dosa dan dosa-dosa orang yang ikut mengerjakan dengan tidak mengurangi dosa-dosa mereka sedikit pun”.
Dan hadist Nabi yang lain yang termaktub dalam kitab Sunan Ibnu Majah Juz I hal. 414 :
إِنَّ أُمَّتِي لَنْ تَجْتَمِعَ عَلَى ضَلاَلَةٍ فَإِذَا رَأَيْتُمُ اخْتِلاَفًا فَعَلَيْكُمْ بِالسَّوَادِ اْلأَعْظَمِ. رواه ابن ماجة عن انس ابن مالك
Yang artinya : “Bahwa ummatku tidak akan sepakat dalam kesesatan, bila kamu melihat perbedaan pendapat diantara kalian, maka ikutilah pendapat mayoritas”. HR Ibnu Majah dari Anas bin Malik.
Dalam Kitab Fathul Bari dijelaskan : "Pada mulanya, bid'ah dipahami sebagai perbuatan yang tidak memiliki contoh sebelumnya. Dalam pengertian syar'i, bid'ah adalah lawan kata dari sunnah. Oleh karena itu, bid'ah itu tercela. Padahal sebenarnya, jika bid'ah itu sesuai dengan syariat maka ia menjadi bid'ah yang terpuji. Sebaliknya, jika bi’ah itu bertentangan dengan syariat, maka ia tercela. Sedangkan jika tidak termasuk ke dalam itu semua, maka hukumnya adalah mubah: boleh-boleh saja dikerjakan. Singkat kata, hukum bid'ah terbagi sesuai dengan lima hukum yang terdapat dalam Islam".
Dari semua pembahasan diatas dapat ditarik sebuah kesimpulan bahwa secara garis besar bid’ah dapat dibagi menjadi 2 macam, yaitu : Bid’ah Hasanah dan Bid’ah Sayyiah. Dan untuk mengkategorikan sebuah perbuatan bid’ah itu tergolong hasanah atau sayyiah maka diperlukan kajian mendalam dengan berdasarkan dalil-dalil syar’i baik qoth’i maupun dzonny dengan tetap mempertimbangkan maqoshid asy syar’iyyah dari perbuatan-perbuatan yang dinilai bid’ah tersebut.
Ma’asyirol muslimin rahimakumullah…
Sebelum khotib mengakhiri khutbah siang hari ini perlu kiranya bagi khotib untuk memberikan beberapa contoh perbuatan bid’ah yang pernah dilakukan sahabat-sahabat terdekat nabi yang termasuk khulafaur rasyidin, perbuatan-perbuatan dimaksud adalah :
1.    Pembukuan Al-Qur'an pada masa Sayyidina Abu Bakar ash-Shiddiq atas usul Sayyidina Umar ibn Khattab yang kisahnya sangat terkenal.
2.    Pemberian titik-titik dan syakal/baris-baris pada tulisan Al Qur’an yang baru dilakukan pada masa kekholifahan Sayyidan Ustman bin Affan.
3.    Apa yang dilakukan oleh Sayyidina Umar ibn Khattab ketika mengumpulkan semua umat Islam untuk mendirikan shalat tarawih berjamaah. Tatkala Sayyidina Umar melihat orang-orang itu berkumpul untuk shalat tarawih berjamaah, dia berkata: "Sebaik-baik bid'ah adalah ini".
4.    Sayyidina Utsman ibn Affan menambah adzan untuk hari Jumat menjadi dua kali. Imam Bukhari meriwatkan kisah tersebut dalam kitab Shahih-¬nya bahwa penambahan adzan tersebut karena umat Islam semakin banyak. Selain itu, Sayyidina Utsman juga memerintahkan untuk mengumandangkan iqamat di atas az-Zawra', yaitu sebuah bangunan yang berada di pasar Madinah.
Dari keempat contoh diatas, mari kita focus terhadap dua contoh pertama yang tentunya yang tidak pernah diperdebatkan yaitu mengenai kodifikasi (pembukuan) Al Qur’an dan pemberian titik-titik dan syakal pada tulisan Al Qur’an. Kedua hal tersebut merupakan contoh konkrit bid’ah hasanah, karena pada zaman Rasulullah SAW Al Qur’an hanya dihafal atau setidak-tidaknya ditulis di pelepah-pelepah kurma dan juga batu-batu (tanpa titik dan tanda baca) dalam keadaan tercerai berai, tidak tersusun sistematis dalam bentuk surat-surat dan Juz-juz seperti yang kita jumpai pada mushaf Al Qur’an yang ada saat ini. Bagaimana jadinya jika Al Qur’an baik secara tulisan maupun penggandaan kondisinya masih tetap seperti pada zaman Rasulullah SAW. Jika hal itu terjadi khotib rasa akan sulit bagi orang Indonesia khususnya membedakan apakah itu merupakan huruf (ب, ت, atau ي) dan itu akan berakibat fatal dengan berubahnya makna dari ayat yang dibaca. Terhadap kasus kodifikasi Al Qur’an ini apakah masih ada yang menggap ini adalah dlolalah (sesat)?
Akhirnya untuk menutup khutbah pada siang hari ini, khotib mengajak kepada diri khotib pribadi dan para jamaah sekalian untuk selalu berpikir jernih dan tidak mudah memperolok orang atau golongan lain terhadap amaliah yang mereka kerjakan selama amalan itu memiliki dasar hukum. Jangan bersifat sombong dengan beranggapan bahwa amaliah yang kita lakukan adalah yang paling benar dan telah sesuai dengan sunnah Rasul, karena sifat sombong adalah hanya milik Allah SWT. Mari kita berpikir ‘arif menyikapi setiap perbedaan yang terjadi diantara kita. Jangan jadikan perbedaan menjadi pemicu perpecahan. Mari kita ingat sebuah pesan Rasulullah SAW bahwasannya perbedaan yang terjadi pada ummatku adalah sebuah rahmat, tentunya pesan Nabi tersebut hanya berlaku bagi orang-orang yang mau berfikir, sedangkan bagi orang-orang yang malas berfikir sudah barang tentu perbedaan akan menghadirkan perpecahan ummat. Semoga kita selalu diberi petunjuk oleh Allah SWT dan selalu berada dalam naungan rahmat dan rahimNYA, dan mendapat syafaat baginda Rasulullah SAW di hari akhir nanti. Amin. Wallahu a’lam bisshowaab.

بارك الله لي و لكم في القرأن العظيم و نفعني و اياكم بما فيه من الأيات و ذكر الحكيم و تقبل مني و منكم تلاوته انه هو السميع العليم أقول قولي هذا واستغفر الله العظيم لي و لكم و لسائر المسلمين و المسلمات و المؤمنين و المؤمنات فاستغفروه انه هو الغفور رحيم
KHUTBAH KEDUA
 الحمد لله...الْحَمْدُ لِلّهِ مُوَفِّقِ اْلعَامِلِيْنَ. و أشهد أن لا اله  الا الله وحده لا شريك له وَلِيُّ اْلمُتَّقِيْنَ و أشهد أن سيدنا محمدا عبده و رسوله صادق الوعد اللأمين. اللهم صل على سيدنا محمد و على اله و أصحابه أجمعين. أما بعد فيا عباد الله اتق الله...اتق الله وَاعْلَمُوْا أَنَّ الله أَمَرَكُمْ بِأَمْرٍ بَدَأَ فِيْهِ بِنَفْسِه, وَ ثَنىَّ بِمَلاَئِكَةِ قُدْسِه, وَ أَيَّدَ اْلمُؤْمِنِيْنَ مِنْ عِبَادِه, فقال و لم يَزَلْ قَائِلاً عَلِيْمًا. إِنَّ اللَّهَ وَمَلَائِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى النَّبِيِّ يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا صَلُّوا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوا تَسْلِيماً.
وقال رسول الله صلي الله عليه و سلم من صلي علي صلاة صلي الله عليه بها عشرا.
اللهم صل علي سيدنا محمد و علي ال سيدنا محمد, كما صليت على سيدنا إبراهيم و على أل سيدنا إبراهيم, و بارك على سيدنا محمد و على أل سيدنا محمد, كما باركت على سيدنا إبراهيم و على أل سيدنا إبراهيم, فى العالمين إنك حميد مجيد. وارض اللهم عن الخلفاء الراشدين, ساداتنا إبي بكر و عمر و عثمات و على و عن بقية أصحاب رسول الله أجمعين, و التابعين و تابعيهم بإحسان إلى يوم الدين و ارض عنا معهم برحمتك يا أرحم الراحمين.
اللهم اغفر للمسلمين و المسلمات و المؤمنين و المؤمنات الأحياء منهم و الأموات انك سميع قريب مجيب الدعوات يا قاضي الحاجات يا أرحم الراحمين, اللهم اَلِّفْ بين قُلُوْبِهِمْ و أَصْلِحْ ذَاتَ بينِهِم و انْصُرْهم على عَدُوِّكَ وَ عَدُوِّهِمْ. اللهم إنا نسألك رضاك و الجنة و نعوذ بك من سخطك و النار, اللهم إنك عفو كريم تحب الغفو فاعف عنا يا كريم. اللهم ادفع عنا الغلاء و البلاء والوباء و الربي و الزني و الزلازل و المحن و سوء الفتن ما ظهر منها و ما بطن عن بلدنا هذا خاصة و عن سائر بلاد المسلمين عامة يا رب العالمين, رَبَّنَا آتِنَا فِي الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِي الآخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ و أدخلنا الجنة مع الأبرار يا عزيز يا غفار يا رب العالمين و الحمد لله رب العالمين.
عباد الله إِنَّ اللّهَ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ وَالإِحْسَانِ وَإِيتَاء ذِي الْقُرْبَى وَيَنْهَى عَنِ الْفَحْشَاء وَالْمُنكَرِ وَالْبَغْيِ يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُونَ, وَأَوْفُواْ بِعَهْدِ اللّهِ إِذَا عَاهَدتُّمْ وَلاَ تَنقُضُواْ الأَيْمَانَ بَعْدَ تَوْكِيدِهَا وَقَدْ جَعَلْتُمُ اللّهَ عَلَيْكُمْ كَفِيلاً إِنَّ اللّهَ يَعْلَمُ مَا تَفْعَلُونَ, و لذكر الله اكبر و الله يعلم ما تصنعون.
اقم الصلاة!!!!

SALAFY : SEJARAH LENGKAP BID’AH DALAM ISLAM

(SEJARAH LENGKAP BID’AH DALAM ISLAM) MENGAPA DENGAN SUNNAH NGERI TAPI DENGAN BID’AH MALAH HOBI? : Latar Belakang Munculnya Bid’ah, Evolusi bid’ah dari masa ke masa, Sejarah Aliran Sesat (Bid’ah Khowarij, Qodariyyah, Murji’ah, Mu’tazilah, Jahmiyyah)

Latar Belakang Munculnya Bid’ah

Oleh : Syaikh Shalih bin Fauzan bin Abdullah Al-Fauzan

Tidak diragukan lagi bahwa berpegang teguh dengan Al-Kitab dan As-Sunnah adalah kunci keselamatan dari terjerumusnya kepada bid’ah dan kesesatan ; Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman.
“Artinya : Dan bahwa (yang Kami perintahkan) ini adalah jalan-Ku yang lurus, maka ikutilah dia, dan janganlah kamu mengikuti jalan-jalan (yang lain), karena jalan-jalan itu mencerai-beraikan kamu dari jalan-Nya”. [Al-An'am : 153]. []
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menjelaskan hal itu dalam suatu hadits yang diriwayatkan sahabat Ibnu Mas’ud Radhiyallahu ‘anhu, berkata : Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam membuat satu garis untuk kita, lalu bersabda : “Ini adalah jalan Allah”, kemudian beliau membuat garis-garis di sebelah kanannya dan disebelah kirinya, lalu bersabda : “Dan ini adalah beberapa jalan di atas setiap jalan tersebut ada syetan yang senantiasa mengajak (manusia) kepada jalan tersebut”.
Maka barangsiapa yang berpaling dari Al-Kitab dan As-Sunnah ; pasti akan selalu terbentur oleh jalan-jalan yang sesat dan bid’ah.
Jadi latar belakang yang menyebabkan kepada munculnya bid’ah-bid’ah, secara ringkas adalah sebagai berikut : bodoh terhadap hukum-hukum Ad-Dien, mengikuti hawa nafsu, ashabiyah terhadap berbagai pendapat dan orang-orang tertentu, menyerupai dan taqlid terhadap orang-orang kafir. Perinciannya sebagai berikut:

[1]. Bodoh Terhadap Hukum-Hukum Ad-Dien

Semakin panjang zaman dan manusia berjalan menjauhi atsar-atsar risalah Islam : semakin sedikitlah ilmu dan tersebarlah kebodohan, sebagaimana hal itu dikabarkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam sabdanya :
“Artinya : Barangsiapa dari kamu sekalian yang masih hidup setelahku, pasti akan melihat banyak perselisihan”. [Hadits Riwayat Abdu Daud, At-Tirmidzi, beliau berkata hadits ini hasan shahih].
Dan dalam sabdanya Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga :
“Artinya : Sesungguhnya Allah Ta’ala tidak mengambil (mencabut) ilmu dengan mencabutnya dari semua hamba-Nya akan tetapi mengambilnya dengan mewafatkan para ulama, sehingga jika tidak ada (tersisa) seorang ulamapun, maka manusia mengangkat pemimpin-pemimpin yang bodoh, mereka ditanya (permasalahan) lalu berfatwa tanpa dibarengi ilmu, akhirnya mereka sesat dan menyesatkan”.
Tidak akan ada yang bisa meluruskan bid’ah kecuali ilmu dan para ulama ; maka apabila ilmu dan para ulama telah hilang terbukalah pintu untuk muncul dan tersebarnya bagi para penganut dan yang melestarikannya.

[2]. Mengikuti Hawa Nafsu

Barangsiapa yang berpaling dari Al-Kitab dan As-Sunnah pasti dia mengikuti hawa nafsunya, sebagaimana firman Allah :
“Artinya : Maka jika mereka tidak menjawab (tantanganmu), ketahuilah bahwa sesungguhnya mereka hanyalah mengikuti hawa nafsu mereka (belaka). Dan siapakah yang lebih sesat dari pada orang yang mengikuti hawa nafsunya dengan tidak mendapat petunjuk dari Allah sedikitpun”. [Al-Qashshash : 50].
Dan Allah Ta’ala berfirman.
“Artinya : Maka pernahkah kamu melihat orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai ilahnya dan Allah membiarkannya sesat berdasarkan ilmu-Nya dan Allah telah mengunci mati pendengaran dan hatinya dan meletakkan tutupan atas penglihatannya. Maka siapakah yang akan memberinya petunjuk sesuadh Allah (membiarkannya sesat)”. [Al-Jatsiyah : 23].
Dan bid’ah itu hanyalah merupakan bentuk nyata hawa nafsu yang diikuti.

[3]. Ashabiyah Terhadap Pendapat Orang-Orang Tertentu.

Ashabiyah terhadap pendapat orang-orang tertentu dapat memisahkan antara dari mengikuti dalil dan mengatakan yang haq.
Allah Ta’ala berfirman.
“Artinya : Dan apabila dikatakan kepada mereka : ‘Ikutilah apa yang telah diturunkan Allah’. Mereka menajwab : ‘(Tidak) tetapi kami hanya mengikuti ap yang telah kami dapati dari (perbuatan) nenek moyang kami’. ‘(Apakah mereka akan mengikuti juga), walaupun nenek moyang mereka itu tidak mengetahui suatu apapun, dan tidak mendapat petunjuk”. [Al-Baqarah : 170].
Inilah keadaan orang-orang ashabiyah pada saat ini dari sebagian pengikut-pengikut madzhab, aliran tasawuf serta penyembah-penyembah kubur. Apabila mereka diajak untuk mengikuti Al-Kitab dan As-Sunnah serta membuang jauh apa-apa yang menyelisihi keduanya (Al-Kitab dan As-Sunnah) mereka berhujjah (berdalih) dengan madzhab-madzhab, syaikh-syaikh, bapak-bapak dan nenek moyang mereka.

[4]. Menyerupai Orang-Orang Kafir

Hal ini merupakan penyebab paling kuat yang dapat menjerumuskan kepada bid’ah, sebagaimana disebutkan dalam hadits Abi Waqid Al-Laitsy berkata.
“Kami pernah keluar bersama Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menuju Hunain dan kami baru saja masuk Islam (pada waktu itu orang-orang musyrik mempunyai sebuah pohon bidara) sebagai tempat peristirahatan dan tempat menyimpan senjata-senjata mereka yang disebut dzatu anwath. Kami melewati tempat tersebut, lalu kami berkata :” Ya Rasulullah buatkanlah untuk kami dzatu anwath sebagaimana mereka memiliki dzatu anwath, lalu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Allahu Akbar ! Sungguh ini adalah kebiasaan buruk mereka, dan demi yang jiwaku di tangannya, ucapan kalian itu sebagaimana ucapan Bani Israil kepada Musa ‘Alaihi Sallam :
“Artinya : Hai Musa, buatlah untuk kami sebuah ilah (berhala) sebagaimana mereka mempunyai beberapa ilah (berhala)”. [Al-A'raf : 138]
Lalu Musa bersabda : “Sungguh kamu sekalian mengikuti kebiasaan-kebiasaan sebelum kamu”.
Di dalam hadits ini disebutkan bahwa menyerupai orang-orang kafir itulah yang menyebabkan Bani Israil dan sebagian para sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menuntut sesuatu yang buruk, yakni agar mereka dibuatkan tuhan-tuhan yang akan mereka sembah dan dimintai berkatnya selain Allah Ta’ala. Hal ini jugalah yang menjadi realita saat ini. Sungguh kebanyakan kaum muslimin telah mengikuti orang-orang kafir dalam amalan-amalan bid’ah dan syirik, seperti merayakan hari-hari kelahiran, mengkhususkan beberapa hari atau beberapa minggu (pekan) untuk amalan-amalan tertentu, upacara keagamaan dan peringatan-peringatan, melukis gambar-gambar dan patung-patung sebagai pengingat, mengadakan perkumpulan hari suka dan duka, bid’ah terhadap jenasah, membuat bangunan di atas kuburan dan lain sebagainya.
Disalin dari buku Al-Wala & Al-Bara Tentang Siapa Yang Harus Dicintai dan Harus Dimusuhi oleh Orang Islam, oleh Syaikh Shalih bin Fauzan bin Abdullah Al-Fauzan

Evolusi bid’ah dari masa ke masa

Al-Ustadz Abu Hamzah Yusuf Al Atsary

Para pembawa bendera bid’ah dan kesesatan seakan tak pernah sirna mewarnai kehidupan ini, mereka tak henti-hentinya berganti cerita di hadapan ummat yang minim akan pengetahuan agamanya, kaum awam inilah yang kemudian menjadi sasaran empuk gerombolan para penjahat agama itu bak ladang subur yang siap untuk dibombardir pemikiran-pemikiran dan faham yang bukan berasal dari Islam alias tidak jelas asal-usulnya.
Ancaman regenerasi para penjahat agama adalah ancaman yang serius bagi Islam dan muslimin terlebih di era kebodohan ini.
Tidak diragukan bila masa-masa nubuwwah adalah masa kejayaan dan kesempurnaan dimana kebid’ahan dan kesesatan tak lagi ada di hati manusia, bahkan para aktivisnya pun terisolasi tiada daya menahan dahsyatnya gelombang petunjuk yang dibawa oleh Nabi shollallahu ‘alaihi wa sallam. Allah berfirman (yang artinya), “Sebenarnya Kami melontarkan yang hak kepada yang batil lalu yang hak itu menghancurkannya, maka dengan serta merta yang batil itu lenyap.” (QS Al Anbiyaa`: 18).
Semua ini menunjukkan semakin dekatnya satu generasi dari umat ini kepada masa nubuwwah semakin dekat pula kepada kebenaran, sebaliknya semakin jauh dari masa nubuwwah semakin jauh pula generasinya dari kebenaran. Tepatlah bila Imam Malik mengatakan, “Tidak akan menjadi baik generasi umat yang terakhir ini kecuali dengan apa yang telah menjadikan baik generasi pertamanya.” (Lihat At Tamhid – Ibnu Abdil Bar).

BID’AH DARI MASA KE MASA 


BID’AH ALIRAN KELOMPOK KHOWARIJ

Bid’ah yang pertama kali lahir di tengah-tengah umat adalah bid’ah khawarij. Khawarij adalah bentuk dari kata “khorij” artinya orang yang keluar. Awal mula munculnya bid’ah ini adalah ketika Nabi shollallahu ‘alaihi wa sallam sedang membagi-bagikan harta, tiba-tiba datang seorang laki-laki dari Bani Tamim yang dikenal dengan sebutan Dzul Khuwaisiroh dan berkata, “Berbuat adillah wahai Muhammad!” Kejadian ini menjadi saksi sepanjang sejarah tentang bagaimana pertama keluar dan berpaling dari syariat Islam, dimana Dzul Khuwaisiroh tidak puas dengan keputusan Nabi, akhirnya dia keluar dari ketaatan terhadapnya.
Fitnah yang timbul dari bid’ah ini semakin besar, terutama di masa akhir pemerintahan Utsman rodhiyallahu ‘anhu adanya orang-orang yang memberontak dan keluar dari ketaatan terhadapnya, bahkan sampai mengakibatkan beliau terbunuh. Lain lagi ketika Ali rodhiyallahu ‘anhu diangkat sebagai khalifah setelah Utsman, mereka mengkafirkan Ali dengan bersenandung yel yel “Tidak ada hukum kecuali hukum Allah”. Kalimat yang hak, namun yang diinginkan darinya adalah batil, akhirnya pemerintahan Ali pun memberangus gerakan mereka.
Dari peristiwa-peristiwa ini, maka dikenallah sebutan kelompok Khawarij pengikut Dzul Khuwaisiroh. Pemikiran Khawarij ini terus berkembang selaras dengan berlalunya masa dan bergantinya generasi meski bermetamorfose dalam bentuk dan dalam nama yang lain. Pemikiran Khawarij sampai saat ini ada walau penggagasnya telah tiada.
Yang menjadi ciri khas mewarnai pemikiran Khawarij sepanjang sejarah yang kemudian diusung oleh para reformernya dewasa ini adalah:
1. Takfir – mudah mengkafir-kafirkan kaum muslimin, apalagi yang tidak seideologi dengannya – padahal ini adalah perkara yang berbahaya, pengkafiran adalah hak prerogatif Allah dan RosulNya, tidak bisa mengatakan si fulan kafir kecuali bila terpenuhi syarat-syaratnya dan hilangnya hal-hal yang mencegahnya untuk dikafirkan.
2. Memberontak atau keluar dari ketaatan (secara mutlak) terhadap penguasa muslim yang tidak berhukum dengan hukum Allah, kemudian mengkafirkannya (secara mutlak) dan mengkafirkan orang-orang yang berada di bawah kekuasaan penguasa tersebut.
Pemberontakan yang ditempuhnya melalui dua sektor. Sektor pemikiran yakni teror pemikiran, menyebarkan fikrah Khawarij dengan cara yang diplomatis. Sasaran utamanya adalah para pemuda, karena mereka sangat rentan untuk disulut semangatnya, menumbuhkan kebencian kepada pemerintah yang sah, semangat revolusi, pendirian daulah Islamiyyah, dan lain-lain. Yang keduanya lewat sektor fisik, yakni teror fisik, di antaranya dengan membuat kekacauan dengan gaya-gaya irhabi (terorisme), merusak instalasi-instalasi milik pemerintah, pengeboman di sejumlah tempat – tak peduli meski kaum muslimin yang menjadi korban, memanfaatkan instabilitas pemerintahan, dan seterusnya.
Salah seorang tokoh reformer faham Khawarij adalah Sayyid Qutb, banyak kalangan aktivis Islam saat ini yang terpengaruh dengan fahamnya, lewat doktrin-doktrin yang sangat tajam dari sejumlah karya dan tulisan-tulisannya yang mengarah kepada pengkafiran secara umum (tanpa memerinci) terhadap semua orang yang tidak berhukum dengan hukum Allah, ia mengatakan, “Sesungguhnya siapa yang mentaati manusia dalam undang-undang yang dibuatnya sendiri -biarpun pada sebagian kecilnya- maka dia telah musyrik! Dan kalaupun pada asalnya muslim, jika dia melakukannya (taat terhadap undang-undang itu) maka dia telah keluar dari Islam menuju kesyirikan pula, sekalipun setelah itu ia tetap mengatakan “Asyhadu allaa ilaaha illallaah” (Fi Zhilalil Qur`an: 3/1198).
Yang benar tentu tidak demikian, telah diketahui secara umum bahwa siapa yang mentaati seorang musyrik, yakin dan membenarkan segala ucapannya, maka dia musyrik. Adapun taat dalam hal perbuatan saja sedang keyakinannya / aqidahnya lurus, maka ini kemaksiatan bukan kesyirikan.
Tidak ragu bahwasanya hukum hanyalah milik Allah saja, inilah yang menjadi aqidah dan agama kita. Akan tetapi Allah jadikan waliyyul amri / penguasa bagi kaum muslimin yang akan mengayomi kemaslahatan-kemaslahatannya, mengharuskan taat kepada mereka dalam hal yang ma’ruf. Allah berfirman (yang artinya), “Hai orang-orang yang beriman taatilah Allah dan taatilah (RosulNya) dan ulil amri di antara kamu.” (QS An Nisaa`: 59).
Pada halaman lainnya ia (Sayyid Qutb) berkata, “Semoga engkau jelas dari apa yang telah kami sisipkan tadi, bahwa jihad yang utama di dalam Islam adalah menghancurkan sistem undang-undang yang bertentangan dengan sumbernya, kemudian menegakkan hukum yang dibangun di atas kaidah Islam pada tempatnya. Inilah tugas utama mengadakan revolusi Islam secara umum / serempak.” (Zhilaalul Qur`an: 3/1451).
Ucapannya ini jelas-jelas provokasi yang mengarah kepada pemberontakan dan penggulingan suatu pemerintahan, tentu bagi orang yang berakal tidak akan luput apa akibat dari ini semua?! Sejarah Islam menjadi bukti dan apa yang ada / terlihat di sekitar kita ikut pula menjadi bukti, bahwa akhir dari sebuah revolusi pemberontakan adalah fitnah, fitnah yang semakin besar.
Makanya para ulama dari dulu telah mewanti-wanti akan bahayanya pemberontakan ini, Al Imam Ahmad bin Hanbal berkata, “Tidak dihalalkan memerangi penguasa tidak pula memberontak padanya karena seruan seseorang, siapa yang melakukan hal itu, maka ia seorang mubtadi’ (ahli bid’ah) tidak berjalan di atas sunnah dan petunjuk.” (Syarh Ushul I’tiqod Ahlussunnah wal Jama’ah 1/181). Al Imam Nawawi berkata, “Adapun memberontak dan memerangi mereka (penguasa), maka haram dengan kesepakatan kaum muslimin, meskipun mereka fasiq, zhalim. Telah banyak hadits-hadits yang semakna dengan apa yang kusebutkan, serta ahlus sunnah bersepakat tentang tidak bolehnya melepaskan ketaatan kepada penguasa karena kefasikan.” (Syarh Shohih Muslim: 12/229).
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata, “Hampir setiap orang yang memberontak kepada pemimpin yang memiliki kekuasaan, melainkan hasil dari pemberontakannya itu adalah kerusakan yang lebih besar daripada kebaikannya, seperti pemberontakan yang terjadi pada pemerintahan Yazid bin Mu’awiyah di Madinah (dimana bala tentaranya Yazid menyikat habis para pemberontaknya, membunuh kaum laki-lakinya dan merenggut kehormatan wanita-wanitanya… dan seterusnya), pemberontakan Ibnul Asy’ats pada pemerintahan Abdul Malik di Irak (dan sejumlah pemberontakan-pemberontakan lainnya, -pent.) (Lihat Minhajus Sunnah: 4/527-528).
Berkata Syaikh Muhammad bin Sholeh Al Utsaimin, “Sesungguhnya kejelekan tidak akan mendatangkan kebaikan dan wasilah yang jelek tidak akan pernah menjadi jalan perbaikan selama-lamanya…” (Dari At Tahdzir minat Tasarru’ fit Takfir: 48).
Para pembaca, demikian itulah selayang pandang ikhwal Khawarij kelompok pertama yang menyimpang dari Islam, bahaya gerakannya akan terus mengancam kaum muslimin, sangat sedikit pemerintahan yang muslim yang selamat dari pengkafirannya.

BID’AH ALIRAN KELOMPOK QODARIYYAH

Kemudian di masa-masa akhir generasi para shahabat, muncullah bid’ah yang baru setelah Khawarij, yakni bid’ah indeterminisme (Qodariyyah) yang dijuluki dengan Majusi umat ini. Abdullah ibnu Umar, Ubadah bin Shamit, Jabir bin Abdillah, Abdullah ibnu Abi Aufa dan sejumlah sahabat lainnya menjumpai mereka.
Orang yang mula-mula berbicara dengan bid’ah Qodariyyah ini adalah Ma’bad Al Juhaniy. Diriwayatkan dari Muhammad bin Syu’aib dari Al Auza’i bahwa yang pertama kali membawa bid’ah Qodariyyah ini adalah seorang laki-laki dari penduduk Irak yang dipanggil dengan nama “Susan”, ia seorang Nasrani lalu masuk Islam kemudian kembali jadi Nasrani. Ma’bad Al Juhaniy mengambil bid’ah ini darinya.
Ia (Ma’bad Al Juhaniy) dan para dedengkotnya mengatakan perbuatan-perbuatan hamba tidak diketahui oleh Allah, tidak tertulis di Lauhul Mahfuzh dan Allah tidak mengetahui apa yang akan diperbuat hamba kecuali bila telah terjadi perbuatan itu. Adapun para pengikut-pengikutnya yang muncul belakangan ini, menjadi aktor gerakannya, mereka mengatakan bahwa Allah subhanahu wa ta’ala tidak mentakdirkan perbuatan-perbuatan hamba dan tidak di bawah kehendakNya, tidak pula perbuatan hamba diciptakan oleh Allah. (Lihat Al Farqu bainal Firaq: 19, Syarh Al Aqidah Al Wasithiyyah: 448).
Adapun bedanya antara para penggagasnya, pendahulunya dengan para reformisnya dewasa ini adalah kalau pendahulunya mereka mengingkari ilmu Allah dan penulisan taqdir di Lauhul Mahfuzh, sedang para reformisnya mengakui ilmu Allah dan penulisan taqdir, namun mengingkari kehendak bagi Allah dan mengingkari kalau perbuatan hamba itu diciptakan Allah -alias makhluk bagi Allah- demikian itulah kelompok Qodariyyah dulu dan sekarang, dulu di kandang singa sekarang terperangkap di kandang serigala.
Abdullah ibnu Umar dan para sahabat lainnya yang menyaksikan dan mengetahui bid’ahnya Qodariyyah, mereka berlepas diri darinya dan memperingatkan ummat dari kesesatannya, mewasiatkan agar jangan menyolati jenazah seorang pun dari mereka, dan jangan menjenguk yang sakitnya dari kalangan mereka. (Al Farqu bainal Firaq: 18-20).
Sikap tegas para sahabat dalam membendung lajunya gerakan bid’ah Qodariyyah ini sangat nampak, mereka para pionir dalam membela Al Haq dan melumatkan kebatilan untuk kemudian menjadi contoh bagi generasi kita dalam hal ini, mereka tak mengenal basa-basi dalam menegakkan Al Haq, sepatutnya menjadi teladan generasi kita yang kebanyakan terbawa perasaan dan suka yang basi-basi.
Nampaknya nilai sikap tegas dari setiap kebatilan itu menjadi ideologi yang baku.
Inilah beliau Ibnu Umar, tatkala beliau mendengar adanya sekelompok orang yang berpemahaman Qodariyyah, dengan lugasnya ia berkata, “Sampaikan kepada mereka, bahwa aku berlepas diri dari mereka, dan mereka pun berlepas diri dariku. Demi Allah, jika salah seorang dari mereka berinfaq dengan emas sebesar gunung Uhud, niscaya hal itu tidak bermanfaat bagi mereka hingga beriman dengan taqdir.” (HR Muslim Abu Daud dan lainnya).

BID’AH ALIRAN KELOMPOK MURJI’AH

Generasi mayoritas para sahabat telah berlalu, namun kebid’ahan masih menyisakan babak yang baru. Bid’ah yang muncul di kurun kedua ini adalah bid’ah Al Irja` yang kemudian para pelakunya lebih dikenal dengan kelompok Murji`ah. Mayoritas kalangan para tabi’in dan sebagian kecil dari kalangan para sahabat yang masih ada menjumpai mereka.
Al Murji`ah adalah isim fa’il (dalam bahasa Arab) dari kata “arja`a” yang bermakna “akhara” (mengakhirkan). Orang-orang yang dicap berpemahaman Murji`ah titik tolak pemikirannya adalah melebihkan perhatiannya terhadap dalil-dalil yang berisikan harapan (roja`) hingga pada akhirnya seolah-olah menganggap tidak ada dalil-dalil yang memuat ancaman (wa’iid).
Selain daripada itu, mereka yang dicap sebagai Murji`ah adalah karena prinsipnya yang aneh dan nyeleneh, dimana mereka mengakhirkan amalan dari definisi iman, artinya bahwa amalan tidak ada sangkut pautnya dengan keimanan, iman adalah pengakuan dalam hati saja. Walhasil, para pelaku dosa besar seperti pezina, pencuri, pemabuk, perampok, menurut mereka, tidak berhak untuk masuk neraka baik untuk selama-lamanya ataupun sementara waktu, semua kemaksiatannya besar atau kecil tidak akan membahayakan iman, selama tidak sampai kepada kekufuran, yang taat dan maksiat keimanan mereka sama, wal ‘iyadzubillah. (Lihat Al Farqu bainal Firaq halaman 202, Syarh Aqidah Al Wasithiyyah 365).
Tentu saja pemahaman dan cara berpikir mereka keliru, menyelisihi nash-nash Kitab dan Sunnah yang sarat dengan penyebutan bahwa iman meliputi ucapan, keyakinan, dan amalan atau disimpelkan oleh istilah para ulama iman adalah ucapan dan amalan bertambah dan berkurang, lagi pula faham mereka tidak pernah diajarkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan tidak dikenal oleh seluruh para sahabat.
Berkata Al Imam Asy Syafi’i rahimahullah: “Adalah ijma’ (kesepakatan) dari kalangan para sahabat dan tabi’in setelahnya serta orang-orang yang telah kami jumpai, semua mengatakan “Iman adalah ucapan, amalan, dan niat” (Majmu’ul Fatawa: 7/209 dari Taisirul Wushul: 76-77).
Berkata Ibnu Abdil Barr dalam At Tamhid 9/237, “Ahlul fiqh dan hadits bersepakat bahwa iman adalah ucapan dan amalan, dan tidak ada amalan kecuali dengan niat, serta iman bertambah dan berkurang.” (Dari Taisirul Wushul: 77).
Al Imam Al Barbahary berkata, “Siapa yang mengatakan bahwa iman adalah ucapan dan amalan, bertambah dan berkurang, maka ia telah terbebas dari faham Irja` (Murji`ah) secara total, awalnya dan akhirnya.” (Syarhus Sunnah no. 159 halaman 128-129).
Kelompok Murji`ah tak jauh beda dengan ahlul bid’ah lainnya, yang pasti ciri khasnya berpecah belah. Allah berfirman,
Åöäøó ÇáøóÐöíäó ÝóÑøóÞõæÇ Ïöíäóåõãú æóßóÇäõæÇ ÔöíóÚðÇ áóÓúÊó ãöäúåõãú Ýöí ÔóíúÁò
“Sesungguhnya orang-orang yang memecah belah agamanya dan mereka (terpecah) menjadi beberapa golongan, tidak ada sedikitpun tanggung jawabmu terhadap mereka.” (QS Al An’aam: 159).
Setidaknya ada dua aliran besar yang mengibarkan faham Murji`ah, satu di antaranya disebut dengan Murji`ah Qodariyyah yang dikampanyekan oleh tokoh-tokoh kondangnya seperti Abu Syamr, Muhammad ibnu Syabib, Ghailan, dan Shalih Qubbah. Kelompok ini adalah kelompok yang paling kufur di antara aliran yang berhaluan Murji`ah karena menyatukan antara dua kesesatan yakni Qodar dan Irja`.
Aliran lainnya terpecah menjadi lima, lain ladang lain belalang, lain pimpinan lain pula pemahaman, di antara lima aliran itu adalah:
1. Kelompok Yunusiyyah, pimpinan Yunus bin ‘Aun yang menyatakan bahwa iman ada di dalam hati dan lisan, yakni ma’rifat kepada Allah. Kelompok ini berpendapat bahwa sifat atau ciri-ciri keimanan, tidaklah dikatakan iman tidak pula dikatakan sebagian daripada iman.
2. Kelompok Ghosaniyyah, pimpinan Ghosan Al Murji` yang berpendapat bahwa iman adalah ikrar atau kecintaan kepada Allah, mengagungkanNya serta meninggalkan bersikap sombong terhadapNya. Menurutnya pula iman akan bertambah dan tidak akan berkurang.
3. At Tumaniyyah, pengikut Abu Mu’adz At Tumani yang menyatakan bahwa iman itu yang memelihara dari kekufuran, iman adalah sebuah nama bagi sifat-sifat atau ciri keimanan dimana siapa yang meninggalkan salah satu ciri darinya, maka telah kafir.
4. Ats Tsaubaniyyah, kelompok ini dipimpin oleh Abu Tsauban Al Murji`, pemahamannya adalah bahwa iman itu ikrar, ma’rifat kepada Allah dan RosulNya dan kepada setiap apa yang dituntut oleh akal untuk mengerjakannya, bila akal tidak menuntut untuk mengerjakan maka ma’rifat dengannya bukan bagian dari iman.
5. Kelompok Al Mirisiyyah, kelompok yang berhaluan Murji`ah dari negeri Baghdad pengikut Bisyr bin Ghiyats Al Mirisi, yang mengatakan bahwa Al Qur`an adalah makhluk. Dia juga mengatakan bahwa iman adalah pembenaran dengan hati dan lisan. (Lihat Al Farqu bainal Firaq 202-207).
Para pembaca, wali-wali Allah yang tampil sebagai pembela agamaNya tidak akan pernah surut dan lenyap, meski gempuran para wali syaithan datang bertubi-tubi dengan beragam senjata kesesatan dan kebid’ahan. Allah berfirman,
“Sesungguhnya Kamilah yang menurunkan Al Qur`an dan sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya.” (QS Al Hijr: 9). Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Akan tetap ada sekelompok dari umatku mereka nampak di atas kebenaran.” (HR Muslim dari Tsauban).
Para tabi’in dan sebagian sahabat yang masih ada, mereka membantah habis syubhat-syubhat yang dibawa kaum Murji`ah. Ancaman regenerasi bid’ah ini sangat serius, terlebih di saat para pengusungnya berganti busana sehingga tak mudah untuk dikenali, tetapi perubahan busana ataupun nama tidak akan merubah hakikatnya.

BID’AH ALIRAN KELOMPOK MU’TAZILAH

Bid’ah-bid’ah yang telah lewat penyebutannya ternyata berbuntut, hingga setelah bid’ah Murji`ah, lahirlah bid’ah I’tizal. Bermula dari sebuah majlis ilmu yang dipimpin oleh Imam Al Hasan bin Yasar Al Bashri, didapati adanya dua orang yang membawa pemahaman menyimpang. Kedua orang itu adalah Washil bin ‘Atha` Al Bashri yang memproklamirkan faham baru, bahwa adanya satu kedudukan di antara dua kedudukan (al manzilah baina manzilatain), menurutnya orang yang fasiq menempati kedudukan tersendiri, bukan mu`min bukan pula seorang yang kafir.
Adapun keduanya adalah Amr bin Ubaid Al Bashri, ia berhaluan faham Qodariyyah, masing-masing menyimpang dari nash dan menuju akal.
Mereka berdua kemudian diusir dari majlisnya Hasan Al Bashri, akhirnya merekapun memisahkan diri bersama kebid’ahannya dari jalan Al Haq. Washil bin Atha` lalu menjadi pimpinan utama bid’ah I’tizal ini, dari peristiwa-peristiwa inilah maka lahir sebutan Mu’tazilah bagi gerakan Washil bin Atha` dan para pengikutnya. (Al Farqu bainal Firaq 20-21, lihat juga halaman 118-120).
Bid’ah ini terus merangsek dan berkembang di kalangan para adzkiyaa`, cendekiawan, dan ilmuwan, sampai akhirnya muncul sekumpulan kaum yang pinter namun keblinger, mereka mengelukan bahwa akal mempunyai peran yang independen di samping wahyu bahkan akal dinomorwahidkan di atas segalanya. Bila dibahasakan keadaan mereka di saat sekarang, mereka itu adalah kaum rasionalis sebuah pergeseran nama dari yang dulunya, yakni Mu’tazilah.
Kaum itu menyatakan pelaku dosa besar, ia bukan seorang mu`min -persis seperti ucapan Khawarij- namun bukan pula kafir, -mirip dengan ucapan Murji`ah- akan tetapi ia berada di manzilah baina manzilatain (di satu kedudukan di antara dua kedudukan), ibarat seorang yang mengadakan satu perjalanan dari kotanya menuju kota lainnya, maka ia berada di tengah jalan yang bukan di kotanya bukan juga di kota yang ia tuju tetapi ia berada di manzilah baina manzilatain.

Pada tahun 1869, pemikiran Mu’tazilah semakin mendapatkan tempat di benak para pemuda yang hanya bermodalkan semangat, kala itu bendera Mu’tazilah kembali diangkat oleh seorang reformernya Jamaluddin Al Ironiy Al Afghoni. Kedatangannya ke Mesir benar-benar merusak aqidah para pemudanya, terlebih mahasiswa-mahasiswa Al Azhar di Kairo.
Muhammad Abduh bin Hasan At Turkumaniy, ia lahir di Mesir pada tahun 1849 yang juga salah seorang siswa Al-Azhar. Kegemarannya membaca buku-buku filsafat dan mendalami jalan pikiran kaum rasionalis (Mu’tazilah) membuatnya sangat klop dan cocok dengan Al Afghoni. Dia begitu tertarik dengan pemikiran-pemikirannya. Kemudian setelah menamatkan kuliahnya di Al Azhar tahun 1877 dengan hasil yang “agak” lumayan, dia dan Jamaluddin Al Afghoni yang telah menjadi gurunya serta tokoh-tokoh lainnya seperti Muhammad Rasyid Ridho, Muhammad Musthofa Al Maroghi, Muhammad Farid Al Wajdi, Mahmud Syaltut, dan Abdul Aziz Jawisy serta Ahmad Musthofa Al Maroghi, menjadi corong utama gerakan kaum rasionalis yang kemudian tulisan-tulisannya banyak diadopsi kaum muslimin dewasa ini. Wallahul Musta’an. (Lihat Rududu Ahlil Ilmi: 9-10).
Yang melekat sepanjang sejarah mewarnai gerakan sesat Mu’tazilah ini hingga kemudian nampak di masa sekarang adalah pengagungannya terhadap akal mengalahkan kedudukan naql, tak heran bila kemudian para ahli filsafat, ahli kalam, dan ahli mantiq banyak bercokol dalam gerakan ini, di antara pernyataan-pernyataannya:
1. Akal adalah dalil yang paling pokok dan pondasinya.
2. Akal mesti didahulukan di atas syariat (naql).
3. Dalil-dalil akal bersifat yakiniyyah, pasti, melalui proses pengkajian yang dalam sehingga melahirkan pesan-pesan yang argumentatif, sedangkan nash-nash syar’i hanyalah bersifat sangkaan dan doktrinisasi belaka.
4. Pahala dan siksa tergantung pada hukum akal.
5. Penilaian terhadap suatu perbuatan, baik atau buruk kembali pada akal.
(Lihat Al Madkhal lid Dirosatil Aqidah Al Islamiyyah: 43).
Itulah sebagian langkah-langkah mereka dalam mengagungkan akal, ditambah lagi dengan adanya pemilahan terhadap hadits-hadits Nabi yang shohih, antara yang ahad dan mutawatir guna menolak sebagian hadits Nabi terutama yang berkaitan dengan aqidah, hanya yang dianggap mutawatir yang diterima.
Namun, pada kenyataannya tak jarang terjadi kekeliruan, dimana yang mutawatir dianggap ahad atau sebaliknya yang ahad dikatakan mutawatir, akhirnya kebingungan sendiri, sebab pada dasarnya acuan utama mereka adalah akal, sehingga yang bertolak belakang dengan ketentuan akal meski mutawatir, ujung-ujungnya dinyatakan ahad.
Sebagai contoh konkritnya, dalam tafsir Al Manar 3/316, penulisnya mengatakan, “Tentang hadits diangkat dan turunnya Isa di akhir zaman, adalah hadits ahad yang berkaitan dengan perkara i’tiqod karena bagian dari perkara-perkara gaib, sementara perkara i’tiqod tidak boleh diambil kecuali dengan dalil yang qoth’i (pasti) sebab yang dituntut di dalamnya adalah keyakinan, namun tidak ada dalam bab ini hadits yang mutawatir.” Tentu saja ini kekeliruan yang fatal dimana hadits-hadits tentang turunnya Isa bagi para ahlul ilmi, ahlul hadits adalah mutawatir. (Lihat Rududu Ahlil Ilmi: 22-25).

BID’AH ALIRAN KELOMPOK JAHMIYYAH

Para pembaca, tak lama kemudian angin berhembus begitu kencang dari arah Turmudz, tepatnya di negeri Khurosan, membawa bid’ah baru di sela-sela guncangan bid’ah Mu’tazilah. Jahmiyyah, itulah bid’ah berikutnya yang mengoyak keutuhan ajaran Islam yang telah dijalani dan diperagakan manusia-manusia terbaik dari umat ini, para sahabat, tabi’in, dan tabi’ut tabi’in.
Berkat kiprah dan ulah sang jagoan debat dan ahli kalam Al Jahm bin Shafwan bid’ah ini tersebar, bahkan ia tercatat sebagai tokoh utamanya. Faham yang mencolok dari gerakan bid’ah ini di antaranya, bahwa Allah tidak berbicara kepada Musa, Al Qur`an adalah makhluk, Allah tidak dapat berbicara tidak pula dapat dilihat, dan Allah AWJ tidak beristiwa di atas arsyNya.
Faham ini terus diumbar ke berbagai tempat oleh Jahm bin Shafwan, ia mengadopsi ideologi sampah ini pertama kalinya dari gurunya Al Ja’ad bin Dirham. Dikatakan oleh para ahlil ilmi bahwa Ja’ad bin Dirham mengambilnya dari Abaan bin Sam’an, kemudian Abaan mengambilnya dari Tholuut anak Sauda perempuan Labid bin Al A’shom dan Tholuut mengambilnya dari Labid bin Al A’shom sang penyihir, yang telah menyihir Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. (Lihat Mauqif Ahlis Sunnah min Ahlil Ahwa wal Bida’: 153-154, Al Farqu bainal Firoq: 211, tahqiq Muhammad Muhyidin Abdul Hamid).
Agaknya gambaran radikalisme begitu melekat pada gerakan bid’ah ini, pimpinannya Jahm bin Shafwan pun dicap sebagai gembong pelaku kejahatan dan kerusakan, ia menyatukan tiga kebid’ahan di antara bid’ah-bid’ah lainnya.
Pertama: Ta’thil, meniadakan sifat-sifat bagi Allah, dan baginya Allah tidak boleh disifati dengan sifat apapun, karena menurutnya akan terjadi kesamaan dengan makhlukNya.
Kedua: Al Jabr, menurutnya manusia tidak mempunyai kekuasaan atas sesuatu apapun, tidak disifati dengan sifat kemampuan, akan tetapi manusia dipaksa dalam perbuatan-perbuatannya, tidak diberikan kemampuan, keinginan, dan ikhtiyar / pilihan.
Ketiga: Al Irja`, menurutnya iman adalah ma’rifat, tidak akan berkurang dan tidak bertingkat-tingkat. (Al Milal wan Nihal: 1/86-88, Al Farqu bainal Firaq: 211).
Para salaf mengkategorikan pernyataan Jahm ini sebagai pernyataan-pernyataan kufur, sampai-sampai Salim bin Abi Mu’thi berkata, “Al Jahmiyyah kuffar, tidak boleh sholat di belakang mereka.” Sufyan Ats Tsauri berkata, “Siapa yang mengira bahwa firman Allah AWJ kepada Musa, yang artinya: “(Allah berfirman) Hai Musa, sesungguhnya Akulah Allah yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (QS An Naml: 9) adalah makhluk, maka dia kafir, zindiq, halal darahnya.” Demikian juga dengan Al Imam Ahmad bin Hanbal, beliau berkata, “Siapa yang mengatakan Al Qur`an adalah makhluk, maka bagi kami dia kafir, karena Al Qur`an adalah ilmunya Allah AWJ dan di dalamnya terdapat nama-nama Allah AWJ.”
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah beliau menghikayatkan pengkafiran mayoritas ahlul ilmi terhadap mereka, katanya, “Yang masyhur dari madzhab Ahmad dan mayoritas para aimmah sunnah pengkafiran terhadap Jahmiyyah, mereka orang-orang yang meniadakan sifat-sifat Rahman, sesungguhnya ucapan mereka jelas-jelas bertentangan dengan apa yang telah dibawa oleh para rosul dari Al Kitab.” Ibnul Qoyyim juga menukil pengkafiran terhadap mereka dari lima ratus ulama salaf, dalam Nuniyah-nya: 1/115. (Mauqif Ahlis Sunnah wal Jama’ah: 155-156).
Para pembaca, Al Jahm bin Shafwan, di samping kesesatan-kesesatannya yang telah kita sebutkan, ia juga seorang tokoh pemberontak. Ketika Hisyam bin Abdul Malik mengangkat Nasher bin Sayaar sebagai pemimpin di Khurosan, maka dia (Al Jahm) bersama Suraij bin Harits (atau Harits bin Suraij) memberontak pemerintahannya, kemudian Nasher bin Sayaar memerintahkan Salim bin Ahwaz sebagai panglima perangnya berikut beberapa pasukan untuk menghadangnya. Akhirnya Salim bin Ahwaz berhasil membunuhnya di akhir masa Bani Marwan. (Al Farqu bainal Firaq: 36 dan 212).

ADAKAH JAHMIYYAH DI MASA SEKARANG?
Al Allamah Jamaluddin Al Qosimi, mengatakan, “Terkadang telah dikira bahwa Jahmiyyah telah lenyap ditelan masa, padahal Mu’tazilah adalah cabang dari (bid’ahnya) Jahmiyyah, dan Mu’tazilah sangatlah banyak (sekarang ini), lagi pula orang-orang yang menisbatkan kepada faham asy’ariyah pun dalam banyak permasalahan merujuk kepada madzhab Jahmiyyah.” (Tarikh Jahmiyyah wal Mu’tazilah: 6, dari Mauqif Ahlissunnah: 156).
Memang benar apa yang dikatakan beliau Al Allamah Jamaluddin Al Qosimi kalau Mu’tazilah cabang dari Jahmiyyah, karena Jahmiyyah di dalam meniadakan sifat-sifat Allah bertolak dari akal. (Syarh Al Aqidah Al Wasithiyyah: 21). Ini semua menunjukkan bahwa model-model pemikiran Jahmiyyah masih tetap ada hingga hari ini di zaman kita ini.
Demikian itulah bid’ah demi bid’ah muncul bertahap dari yang parah hingga yang terparah bermuara pada pembicaraan tentang dzat Allah. Wal ‘iyadzubillah. Maka, sudah sepatutnya bagi kita untuk selalu memohon ketetapan dan kekokohan di atas al haq kepada Allah ta’ala dan agar tidak memalingkan hati-hati kita setelah mendapat petunjuk, karena ini adalah perkara yang berbahaya, sementara syaithon masuk kepada Bani Adam dari segala arah, membuat keragu-raguan dalam aqidahnya, dienNya dan terhadap kitabNya (Al Qur`an) serta sunnah rosulNya. Inilah pada hakekatnya kebid’ahan yang merebak di tengah-tengah umat Islam.
Para pelaku bid’ah itu tidak melakukan suatu kebid’ahan kecuali karena sedikit ilmunya, atau dangkal pemahamannya atau juga karena didorong dengan tujuan-tujuan yang jelek, dengan bid’ahnya itu mereka merusak dunia.
Akan tetapi -segala puji bagi Allah- tak ada seorang pun yang membuat suatu kebid’ahan, melainkan telah Allah siapkan dengan hikmahNya dan karuniaNya orang-orang yang menerangkan kebid’ahan itu, membongkar kedok para pelakunya, dan menghancurkannya dengan al haq. Allah berfirman, “Sebenarnya Kami melontarkan yang haq kepada yang batil, lalu yang haq itu menghancurkannya, maka dengan serta merta yang batil itu lenyap. Dan kecelakaanlah bagimu disebabkan kamu mensifati (Allah dengan sifat-sifat yang tidak layak bagiNya).” (QS Al Anbiyaa: 18).
Ini merupakan kesempurnaan firman Allah, “Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan Al Qur`an, dan sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya.” (QS Al Hijr: 9). Innahu Waliyyu dzalika wal Qodir ‘alaih. Wal ‘ilmu ‘indallah.

Ditulis oleh Abu Hamzah Al Atsary.
(Sumber : Bulletin Al Wala’ wal Bara’ Edisi 33 & 34 Tahun ke 2. URL http://salafy.iwebland.com/fdawj/awwb/read.php?edisi=33&th=2 dan http://salafy.iwebland.com/fdawj/awwb/read.php?edisi=34&th=2.)

Kamis, 25 Oktober 2012

Masalah Asma' Wa Sifat Allah.

NU Berpendapat :

Sifat Allah itu terbagi dalam beberapa bagian. Ada yang sifat wajib bagi Allah, sifat mustahil bagi Allah, dan jaiz bagi Allah. Secara singkat sebagai berikut:
Sifat yang wajib dan mustahil bagi Allah masing-masing 20 yang saling berlawanan:
1. Ada (wujud) lawnnya tidak ada (’adam)
2. Dahulu (qidam) lawannya baru (huduts)
3. Kekal (baqa’) lawannya berubah-ubah (fana’)
4. Tidak menyerupai sesuatu (mukhalafatu lil hawaditsi) lawannya menyerupai sesuatu (almumatsalatu lil hawaditsi)
5. Berdiri sendiri (qiyamuhu binafsihi) lawannya berhajat kepada yang lain (al-ihtiyaju lighairihi)
6. Esa (wahdaniyat) lawannya berbilang (<em>wujudusy syarik)
7. Kuasa (qudrat) lawannya tdak kuasa (’ajz)
8. Berkehendak (iradah) lawannya terpaksa (karahah)
9. Mengetahui (’ilm) lawannya bodoh (jahl)
10. Hidup (hayat) lawannya mati (maut)
11. Mendengar (sama’) lawannya tuli (shamam)
12. Melihat (bashar) lawannya buta (’umyu)
13. Berbicara (kalam) lawannya bisu (bukm)
14. Yang Berkuasa (qadiran) lawnanya Yang tidak berkuasa (’ajizan)
15. Yang Berkemauan (muridan) lawannya Yang Terpaksa (mukrahan)
16. Yang berpengatahuan (’aliman) lawannya Yang Bodoh (jahilan)
17. Yang Hidup (hayyan) lawannya Yang Mati (mayyitan)
18. Yang Mendengar (sami’an) lawannya. Yang Tuli (ashamm)
19. Yang Melihat (basyiran) lawannya Yang Buta (a’ma)
20. Yang Berbicara (mutakalliman) lawannya Yang Bisu (abkam)

Adapun Sifat Jaiz Bagi Allah SWT adalah bahwa Allah berbuat apa yang dikehendaki, seperti dalam Al-Qur’an disebutkan :
وَرَبُّكَ يَخْلُقُ مَايَشَاءُ وَيَخْتَارُ
Dan Tuhanmu menjadikan dan memilih barang siapa apa yang dikehendaki-Nya. (Al-Qashash: 68)
Allah menjadikan alam ini bukanlah suatu keharusan. Apabila menjadi suatu keharusan, berarti semuanya hawadits, itu tidak mungkin terjadi namanya. Apabila Allah menghendaki, maka terjadilah barang itu berwujud, dan apabila Allah tidak menghendaki, maka tidak pula terwujud.
Dari keterangan itu semuanya, ternyata Allah membuat atau tidak membuat segala sesuatu yang mungkin ini, hanyalah kemungkinan belaka. Sifat membuat alam ini atau tidak membuatnya adalah sifat jaiz bagi Allah. Artinya hal itu bias saja boleh terjadi atau tidak terjadi. Apabila dikehendaki, maka hal itu diadakanlah dan terjadi, dan apabila tidak dikehendaki, tidak diadakan dan tidak terjadi.

 NU mengingkari Allah diatas Arsy, Allah punya tangan dll




Dalam masalah ini Salafy berpendapat :

Secara istilah syariat, tauhid asma dan sifat adalah pengakuan seorang hamba tentang nama dan sifat Allah, yang telah Dia tetapkan bagi diri-Nya dalam kitab-Nya ataupun dalam sunnah Nabi-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam, tanpa melakukan empat hal berikut:

1. Tahrif (menyimpangkan makna)
yaitu mengubah atau mengganti makna yang ada pada nama dan sifat Allah, tanpa dalil.
Misalnya: Sifat Allah marah, diganti maknanya menjadi keinginan untuk menghukum, sifat  Allah istiwa (bersemayam), diselewengkan menjadi istaula (menguasai), Tangan Allah, disimpangkan maknanya menjadi kekuasaan dan nikmat Allah.

2. Ta’thil (menolak)
Yaitu menolak penetapan nama dan sifat Allah yang disebutkan dalam dalil. Baik secara keseluruhan maupun hanya sebagian.
Contoh menolak secara keseluruhan adalah sikap sekte Jahmiyah, yang tidak mau menetapkan nama maupun sifat untuk Allah. Mereka menganggap bahwa siapa yang  menetapkan nama dan sifat untuk Allah berarti dia musyrik.
Contok menolak sebagian adalah sikap yang dilakukan sekte Asy’ariyah atau Asya’irah, yang membatasi sifat Allah hanya bebeberapa sifat saja dan menolak sifat lainnya. Atau menetapkan sebagian nama Allah dan menolak nama lainnya.

3. Takyif (membahas bagaimana bentuk dan hakikat nama dan sifat Allah)
yaitu menggambarkan bagaimanakah hakikat sifat dan nama yang dimiliki oleh Allah. Misalnya, Tangan Allah, digambarkan bentuknya bulat, panjangnya sekian, ada ruasnnya, dan lain-lain. Kita hanya wajib mengimani, namun dilarang untuk menggambarkannya.

4. Tamtsil (menyamakan Allah dengan makhluk-Nya)
Misalnya, berkeyakinan bahwa tangan Allah sama dengan tangan budi, Allah bersemayam di ‘arsy seperti joki naik kuda. Mahasuci Allah dari adanya makhluk yang serupa dengan-Nya.

 Kaidah penting dala masalah ini menurut Salafy :

1. Mengimani segala nama dan sifat-sifat Allah yang terdapat dalam Alquran dan sunnah (hadits-hadits sahih).
Artinya, kita tidak membedakan dalam mengimani segala ayat yang ada dalam Alquran, baik itu mengenai hukum, sifat-sifat Allah, berita, ancaman dan lain sebagainya. Sehingga tidaklah tepat jika seseorang kemudian hanya mengimani ayat-ayat hukum karena dapat dicerna oleh akal sedangkan mengenai nama dan sifat Allah, harus diselewengkan maknanya karena tidak sesuai dengan jangkauan akal mereka.

“… Apakah kamu beriman kepada sebahagian Al Kitab (Taurat) dan ingkar terhadap sebahagian yang lain? Tiadalah balasan bagi orang yang berbuat demikian daripadamu, melainkan kenistaan dalam kehidupan dunia, dan pada hari kiamat mereka dikembalikan kepada siksa yang sangat berat. Allah tidak lengah dari apa yang kamu perbuat.” (Qs. Al-Baqarah: 85)
Begitu pula dalam mengimani hadits-hadits yang sahih dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Hendaknya kita tidak membedakan apakah itu hadits mutawatir ataupun hadits ahad, karena jika itu sahih dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam maka ia wajib diimani walaupun akal kita tidak dapat memahaminya.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Segera saja ada seorang yang duduk di atas sofanya lalu disampaikan kepadanya sebuah hadits dariku baik sesuatu yang aku perintahkan atau sesuatu yang aku larang maka ia berkata, ‘Kami tidak tahu, kami hanya mengikuti apa yang kami dapatkan dalam kitab Allah.’” (HR. Abu Dawud dan At Turmudzi, dinilai sahih oleh oleh Al Albani)

2. Menyucikan Allah dari menyerupai makhluk dalam segala sifat-sifat-Nya.
Ketika kita mengakui segala nama dan sifat yang Allah tetapkan, seperti Allah maha melihat, Allah tertawa, betis Allah, tangan Allah, maka kita tidak diperbolehkan menerupakan sifat-sifat tersebut dengan sifat makhluk.
Sayangnya, hal inilah yang sering terjadi pada sekelompok orang, dan hal ini pulalah yang memicu penyimpangan yang terjadi pada tauhid asma wa shifat. Kesalahan yang berbuah kesalahan. Contohnya sebagai berikut:
Seseorang tidak ingin menyerupakan sifat Allah dengan makhluk sehingga ia menyimpangkan (tahrif) sifat-sifat yang Allah tetapkan bagi diri-Nya karena menganggap jika ia menetapkan sifat tersebut maka ia akan menyerupakan Allah dengan makhluk. Padahal tidak demikian. Allah sendiri menyatakan dalam firman-Nya, yang artinya, “Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan Allah, dan ia Maha Mendengar lagi Maha Melihat.”
Hal ini disebabkan kesamaan dalam nama tidak berarti kesamaan dalam bentuk dan sifat. Contohnya adalah kaki gajah dan semut. Mereka sama-sama memiliki kaki, namun bentuk dan hakikat kaki tersebut tetaplah berbeda.
Atau seseorang tidak ingin menyerupakan Allah dengan makhluk karena khawatir akan menghinakan Allah sehingga ia menolak segala nama dan sifat yang Allah tetapkan baik sebagian atau seluruhnya. Contohnya adalah orang-orang yang menyatakan nama-nama Allah hanya ada 13. Padahal apa yang mereka lakukan justru menghinakan Allah karena penetapan mereka memiliki konsekuensi Allah memiliki sifat-sifat yang terbatas.

3. Menutup keinginan untuk mengetahui bentuk hakikat sifat-sifat Allah tersebut.
Sebagaimana telah disebutkan sebelumnya, bahwa salah satu bentuk penyimpangan dalam tauhid asma wa shifat adalah menanyakan bagaimana bentuk dan hakikat sifat-sifat Allah. Dan hal ini tidak mungkin dapat kita ketahui karena Allah dan Rasul-Nya tidak menjelaskan hal tersebut. Sebagai contoh, seseorang tidak dapat menanyakan kaifiat (bagaimananya) sifat tertawa Allah, atau bentuk tangan Allah, atau bagaimanakah wajah Allah.
Yang perlu kita imani adalah Allah memiliki sifat yang bermacam-macam dan Allah maha sempurna dengan segala sifat yang dimiliki-Nya.Dan untuk mengimani sesuatu tidaklah mengharuskan kita harus mengetahui hakikat zat tersebut. Sebagai contoh, kita meyakini adanya roh (nyawa) walaupun kita tidak pernah mengetahi bentuk dan hakikat dari roh tersebut. Padahal roh adalah sesuatu yang sangat dekat dengan manusia namun akal kita tidak pernah mampu mengetahui bentuk dan hakikatnya.
Termasuk larangan dalam hal ini adalah membayangkan bagaimana bentuk dan hakikat sifat Allah, karena akan membuka pada penyimpangan lainnya, yaitu penyerupaan dengan makhluk. Yang perlu diluruskan adalah, larangan untuk mengetahui bentuk dan hakikat dari sifat-sifat Allah bukan berarti meniadakan adanya bentuk dan hakikat dari sifat-sifat Allah. hakikat sifat Allah tetaplah ada dan hanya Allah-lah yang mengetahuinya.
 sumber :  http://yufidia.com/

Disini Salafy menetapkan adanya sifat tangan, bersemayam diatas arsy, betis, gembira, dan yang lainnya yang ada di dalam Al-Quran dan hadist yang shahih.


Nahdlatul Ulama berpendapat sesuai dengan pendapatnya Imam Maturidi atau Imam Asy'ary :

Allah mempunyai 13 + 7  =20 sifat wajib  (13 ditetapkan oleh Imam Asy'ary dan 7 ditambahkan oleh Imam Maturidy), Sebaliknya Allah juga mempunyai 20 sifat Mustahil bagi Allah yang merupakan kebalikan sifat wajib bagi Allah. Allah juga memiliki sebuah sifat jaiz bagi Allah. Penjelasan tentang ini silakan kunjungi disini

Namun demikian NU tetap mengakui adanya Asmaul husna bagi Allah yang berjumlah 99 nama yang Indah. Dalam hal ini Kang Hasan (Admin) belum tahu bagaimana komprominya antara pembatasan sifat wajib bagi Allah yang hanya 20 dengan asmaul husna yang 99 nama. Apa berarti Asma Allah tidak hanya 20 saja tapi plus asmaul husna. Yang bisa menjelaskan masalah ini silahkan memberikan penjelasan melalui komentar.

Nahdlotul ulama membolehkan menyimpangkan arti dari sifat-sifat Allah seperti tangan Allah di simpangkan menjadi Kekuasaan. 

Nahdlotul ulama menolak (ta'til) sifat tangan bagi Allah dan  mengalihkan maknanya dengan kekuasaan. Dengan Alasan bahwa menetapkan sifat tangan bagi Allah berarti mempersamakanNya  dengan makhlukya padahal Allah berfirman
berfirman,
لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ وَهُوَ السَّمِيعُ البَصِيرُ
“Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia, dan Dia-lah yang Maha Mendengar dan Melihat.” (Qs. Asy-Syuura: 11)

Begitu juga NU berdikap terhadap sifat-sifat Allah yang lainnya seperti  bersemayam diatas arsy, wajah bagi Allah, gembira, marah dll.

Kataku :
Sifat-sifat Allah di Salafy lebih banyak dan lebih luas karena menetapkan semua yang telah Allah tetapkan bagi diri-Nya dalam kitab-Nya ataupun dalam sunnah Nabi-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan tanpa menyimpangkan arti, tanpa menolak arti yang apa adanya,  tanpa menanyakan kaifiyah sifat Allah tersebut dan tanpa menyamakan dengan makhluknya. Sehingga jumlahnya lebih banyak, bahkan lebih banyak dari 99. Tidak diketahui pasti berapa jumlahnya.

NU dengan alasan ayat diatas kadang menolak sifat-sifat Allah apa adanya (seperti Allah punya tangan) dan diartikan dengan Allah memiliki kekuasaan. Allah diata Arsy diartikan Allah berkuasa di sana dan lainnya. Lebih lengkap klik disini

Contoh perbandingan ini dalam masalah tangan Allah, Allah berfirman :


يَدُ اللَّهِ فَوْقَ أَيْدِيهِمْ

Salafy memahami perkataan ini menurut zahir dan erti hakikatnya. Tangan Allah Ta’ala dikatakan berada di atas tangan orang-orang yang berbai’at. Ini tidak ada keganjilan, kerana tangan termasuk sifat Dzatiyah Allah, sedangkan Allah berada di atas mereka, bersemayam di atas ‘Arsy, sehingga jelas kalau tangan Allah berada di atas tangan mereka. Pemahaman seperti ini adalah zahir ayat tersebut dan erti hakikatnya. 
Berarti juga Salafy menetapkan Allah memiliki tangan dengan tanpa menyimpangkan arti menjadi Allah berkuasa, tanpa menolak arti yang apa adanya yakni Allah punya tangan,  tanpa menanyakan kaifiyah sifat tangan Allah tersebut bagaimana dan tanpa menyamakan tangan Allah dengan tangan makhluknya dan meyakini kesempurnaan tangan Allah tersebut sehingga berbeda dengan tangan makhlukNya..  
Adapun NU tidak bisa menerima sifat tangan bagi Allah yang yang tercantum dalam teks ayat Al-Quran diatas dengan alasan kalau menetapkan Allah memiliki tangan berarti menyamakan Allah dengan makhluknuya, sehingga NU memilih untuk tidak menetapkan Allah memiliki tangan tapi mengganti arti tangan dengan kekuasaan sehingga Nu menetapkan Allah memiliki kekuasaan, tidak memiliki tangan.
Wallahu a'lam bissowab.




 

Masalah siapa Ahlussunnah WalJamaah

Masalah siapa Ahlussunnah termasuk perkara yang penting, mengingat kedua kelompok ini sama-samn mengaku pengikut Ahlussunnah Waljamaah. Tetapi mengapa kok jadi beda? Padahal masalah kriteria Ahlussunnah Waljamaah ini yang nanti digunakan tolok ukur menentukan mana yang baik dan benar dan mana yang salah dan tidak baik.

Baik langsung saja ke permasalahan, Kedua belah pihak ternyata sepakat atau sama dalam pokok definisi Ahlussunnah waljamaah yaitu  

Golongan Ahlussunnah adalah golongan yang mengikuti Al Qur'an dan Assunnah yakni apa yang diajarkan oleh Rasulullah SAW (meliputi ucapan,perilaku serta ketetapan Baginda). Sedangkan yang dimaksudkan dengan pengertian jemaah adalah sesuatu yang telah disepakati oleh para sahabat Nabi SAW pada masa Khulafa’ Al-Rasyidin yang empat yang telah diberi hidayah oleh Allah SWT    

Adapun perbedaannya NU menambahkan dalam definisi diatas dengan 

 Dari segi ilmu aqidah dan tauhid, ASWAJA mengikut Imam Abu Hassan bin Ismail Al-Asyaari dan Imam Abu Mansur Muhammad bin Muhammad bin Mahmud Al-Maturidi. Dalam ilmu Fiqh, ASWAJA mengikuti mazhab yang empat iaitu Mazhab Hanafi,Maliki,Syafi’e dan Hanbali. Manakala dalam ilmu Tasawuf mengikuti Imam Junayd Al-Baghdadi, Abu Yazid Al-Busthami dan Imam Al-Ghazali.   

Jadi secara umum definisinya NU lebih sempit karena membatasi hanya pada pengikut para imam tersebut dan mengeluarkan golongan yang berbeda dengan mereka sebagai bukan Ahlussunnah wal jamaah.  Sedangkan Salafy juga mengakui keberadaan para Imam Madzhab yang empat tersebut sebagai Imam Ahlussunnah Waljamaah, dan juga mengakui imam-imam lainnya.

Salafy bersifat kritis terhadap paham tasawuf yang di jadikan patokan NU. Salafy menilai NU sebagai pengikut Imam Asy'aari bahkan telah berbeda dengan Imam Asy'aari sendiri. Lihat disini Salafy menilai NU mendefinisikan Ahlussunnah Waljamaah melebihi dari yang dijelaskan dalam hadist tentang Ahlussunnah Waljamaah yakni ma ana alaihi waashaaby dengan membatasi golongan asyairoh saja yang ahlussunnah padahal saat itu banyak ulama yang komitmen pada sunnah,

NU menilai Salafy dalam mengikuti Ahlussunnah wal jamaah tidak bersanad sebagaimana NU, kalau NU bersanad dalam ikut mengikutnya dari Rasulullah sampai ke KH Hasyim Asy'ary (Pendiri NU).

Wallahu a'lam bissowab.

Siapa Ahlus Sunnah Wal Jamaah

Baik Salafy maupun Nahdlatul Ulama keduanya mengaku mengikuti pemahaman Ahlu Sunnah Wal Jamaah maka berikut ini saya akan kemukakan pendapat dari kedua belah pihak.

Kalangan Nahdlatul Ulama berpendapat :


Syeikh Abdul Qadir Al-Jailani dalam kitabnya Al-Ghunyah li Thalibi Thariq Al-Haqq, Juz 1, Hal 80 mendefinasikan ASWAJA sebagai berikut 

“yang dimaksudkan dengan sunnah adalah apa yang diajarkan oleh Rasulullah SAW (meliputi ucapan,perilaku serta ketetapan Baginda). Sedangkan yang dimaksudkan dengan pengertian jemaah adalah sesuatu yang telah disepakati oleh para sahabat Nabi SAW pada masa Khulafa’ Al-Rasyidin yang empat yang telah diberi hidayah oleh Allah SWT”. 

Dalam sebuah hadis.
Dari Abu Hurairah RA, Sesungguhnya Rasulullah SAW bersabda 
“ Akan terpecah umat Yahudi kepada 71 golongan, Dan terpecah umat Nasrani kepada 72 golongan, Dan akan terpecah umatku menjadi 73 golongan. Semuanya akan dimasukkan keneraka kecuali satu. Berkata para sahabat : Wahai Rasulullah, Siapakah mereka wahai Rasulullah ?. Rasulullah menjawab : Mereka yang mengikuti aku dan para sahabatku”. (HR Abu Daud,At-Tirmizi, dan Ibn Majah)

Dalam pemahaman yang lain, istilah AHL AL-SUNNAH WA AL-JAMA'AH ini terbentuk dari 3 perkataan, iaitu :-
  1. AHL - Yang bererti keluarga, golongan atau pengikut 
  2. Al-Sunnah - Iaitu segala sesuatu yang telah diajarkan oleh RASULULLAH SAW. Maksudnya, semua yang datang dari Nabi SAW berupa perbuatan, percakapan, dan pengakuaan Nabi Muhammad SAW
  3. AL-JAMA'AH - Iaitu apa yang telah disepakati oleh para Sahabar RASULULLAH SAW pada masa KHULFA RASYIDIN. 
Perkataan JAMA'AH ini diambil dari Sabda RASULULLAH SAW:-

"Barangsiapa yang ingin mendapatkan kehidupan yang damai disyurga, maka hendaklah dia mengikuti Al-Jama'ah. (HR Tirmidzi, dan di Shahihkan Al-Hakim dan Al-Dzahabi)
Dari segi ilmu aqidah dan tauhid, ASWAJA mengikut Imam Abu Hassan bin Ismail Al-Asyaari dan Imam Abu Mansur Muhammad bin Muhammad bin Mahmud Al-Maturidi. Dalam ilmu Fiqh, ASWAJA mengikuti mazhab yang empat iaitu Mazhab Hanafi,Maliki,Syafi’e dan Hanbali. Manakala dalam ilmu Tasawuf mengikuti Imam Junayd Al-Baghdadi, Abu Yazid Al-Busthami dan Imam Al-Ghazali.
Tersebut di dalam Kitab Muzakkiratut Tauhid Wal Firaq, bagi Asy-Syaikh Hasan As-Sayyid Mutawalliyy , Juzuk 1, Cetakan 1994 M bersamaan 1414 H, muka surat 14 ;

Pembentukan Ahlus Sunnah itu hanya dari dua kelompok sahaja, iaitu kelompok Al-Asya’irah, mereka ialah Para pengikut Fahaman Abu Hassan Al-Asya’ari.
Dan kelompok Al-Maturidiyyah, mereka ialah Para pengikut Fahaman Abu Mansur Al-Maturidi.
RUMUSAN AHLUSSUNNAH WAL JAMAAH
Maka sesungguhnya Ahlussunnah Wal Jama'ah bukanlah aliran yang baru. Bahkan Ahlussunnah Wal Jama'ah berusaha untuk menjaga agama Islam dari fahaman-fahaman yang sesat. Sekaligus sebagai satu jalan untuk mempertahankan, memperjuangkan dan mengembalikan agama Islam agar tetap sesuai dengan apa yang telah diajarkan oleh Baginda RASULULLAH SAW dan para sahabat Baginda.
Sumber : http://jamaluddinab.blogspot.com/     


Adapun menurut Salafy : 

Ahlussunnah wal Jama’ah adalah mereka yang menempuh seperti apa yang pernah di tempuh oleh Rasulullah Shallallahu’alaihi wa Sallam dan para Shahabatnya Radhiyallaahu’anhum. Disebut Ahlussunnah karena kuatnya mereka berpegang dan berittiba’ (mengikuti) Sunnah Nabi Shallallahu’alaihi wa Sallam dan para Shahabatnya.
Secara terperinci pengertian As-Sunnah menurut Ibnu Rajab al-Hanbali Rahimahullah ialah: “Jalan yang di tempuh, mencakup di dalamnya berpegang teguh kepada apa yang dilaksanakan Nabi Shallallahu’alaihi wa Sallam dan para khalifahnya yang terpimpin dan lurus berupa i’tiqad (keyakinan), perkataan, dan perbuatan. Itulah As-Sunnah yang sempurna. Oleh karena itu generasi Salaf terdahulu tidak menamakan As-Sunnah kecuali kepada apa saja yang mencakup ketiga aspek tersebut”.
Sedangkan pengertian Jama’ah Imam Asy Syafi’i Rahimahullah berkata: “Perintah untuk berpegang kepada Jama’ah, maksudnya adalah berpegang kepada kebenaran dan mengikutinya. Meskipun yang melaksanakan Sunnah itu sedikit dan yang menyalahinya banyak. Karena kebenaran itu apa yang di laksanakan oleh Jama’ah yang pertama, yaitu yang di laksanakan Rasulullah Shallallahu’alaihi wa Sallam dan para Shahabatnya tanpa melihat kepada orang-orang yang menyimpang sesudah mereka”.
Sebagaimana yang dikatakan Ibnu Mas’ud Radhiyallahu’anhu:
” Al-Jama’ah adalah yang mengikuti kebenaran walaupun engkau sendirian”.[Syarah Ushuulil I'tiqaad karya al-Laalika-iy no. 160.]

Komentar Kang Hasan

Menurut pengamatan saya sebenarnya keduanya punya pandangan sama yaitu Ahlussunnah wal jamaah adalah mereka yang mengikuti agamanya Rasulullah dan para sahabatnya termasuk khulafaurrasyidin. 

Berbeda mereka pada penunjukan selanjutnya. NU menunjuk wajib mengikuti  Imam Abu Hassan bin Ismail Al-Asyaari dan Imam Abu Mansur Muhammad bin Muhammad bin Mahmud Al-Maturidi. Dalam ilmu Fiqh, ASWAJA mengikuti mazhab yang empat iaitu Mazhab Hanafi,Maliki,Syafi’e dan Hanbali. Manakala dalam ilmu Tasawuf mengikuti Imam Junayd Al-Baghdadi, Abu Yazid Al-Busthami dan Imam Al-Ghazali.    

Sedangkan Salafy tidak membatasi pada mereka saja tapi menyatakan bahwa Ahlus Sunnah Wal Jama’ah adalah para sahabat, tabi’in dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik dari para ulama Ahli Ijtihad dan Ahli Hadits yang berjalan di atas Al-Qur’an dan Sunnah dan siapa saja yang mengikuti mereka dalam hal tersebut sampai hari kiamat

sumber 1,  http://qurandansunnah.wordpress.com/
2. http://pustakaimamsyafii.com/siapakah-ahlussunnah-wal-jamaah.html